Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pacu Pengembangan Industri PLTS Lokal, DPR: Perlu Insentif

Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menilai perlu adanya insentif untuk mendukung akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dalam negeri.
Teknisi melakukan pengecekan rutin pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). Bisnis/Rachman
Teknisi melakukan pengecekan rutin pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menilai perlu adanya guyuran insentif untuk industri panel surya di dalam negeri guna memacu akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya. 

Adapun, pengembangan PLTS selama ini dinilai terhambat oleh tingginya ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) modul surya. Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2017, nilai TKDN minimal untuk modul surya adalah sebesar 60% sejak 1 Januari 2019.  

Sementara itu, di Indonesia baru memiliki satu pabrikan yang memproduksi modul surya dengan kapasitas 560 watt-peak per modul surya. Pabrikan lainnya mayoritas hanya mampu memproduksi modul surya dengan kapasitas mencapai 450 watt-peak per modul surya. 

Untuk itu, Eddy mengatakan, perlu ada insentif yang signifikan untuk mendukung industri hulu hingga penunjang PLTS.

“Jangan sampai kita mensyaratkan adanya kandungan TKDN yang tinggi, tetapi di dalam negerinya itu tidak siap untuk memberikan harga yang kompetitif,” kata Eddy saat dihubungi, Kamis (11/1/2024). 

Eddy juga berpendapat pemenuhan TKDN menjadi isu krusial untuk menjaga ketahanan industri domestik di tengah investasi yang intensif pada pembangkit dan infrastruktur energi baru terbarukan (EBT). 

“Kita harus memanfaatkan momentum ini untuk bangun industri dalam negeri yang mampu bangun pembangkit EBT, jangan sampai pembangkit ini kemudian komponen terbesarnya justru impor,” ujarnya.

Adapun, persoalan ihwal TKDN ini masih berlanjut dibahas di dalam rapat panitia kerja (panja) Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Selain TKDN, skema bisnis pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik atau power wheeling turut menjadi bahasan tim kerja perumus tersebut. 

Padahal pemerintah bersama dengan Komisi VII DPR RI telah sepakat untuk muatan 574 daftar inventarisasi masalah (DIM) di dalam RUU EBET tersebut akhir tahun lalu. 

Di sisi lain, parlemen berkomitmen untuk menyelesaikan RUU EBET itu pada tahun ini. Realistisnya, kata Eddy, pengesahan RUU itu bisa diputuskan pada masa sidang berikutnya selepas pergelaran pemilihan umum atau Pemilu serentak Februari 2024 ini. 

“Akan kita selesaikan realistinya di masa sidang segera setelah Pemilu,” kata Eddy. 

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan ketentuan TKDN untuk proyek PLTS dipangkas menjadi 40%. 

Selain itu, masa relaksasi ketentuan TKDN untuk proyek PLTS saat ini diharapkan berlaku sekitar 3 tahun sampai dengan 4 tahun, sebelum akhirnya bertahap batasan komponen bahan baku lokal itu dinaikkan.

“Jadi ada peta jalan kalau sekarang TKDN-nya berapa tahun depan berapa, sehingga nanti sampai itu TKDN yang ditargetkan Kementerian Perindustrian,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana saat ditemui di kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (11/1/2024).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper