Bisnis.com, JAKARTA - Arab Saudi baru-baru ini mengumumkan secara resmi telah bergabung dengan BRICS. Namun, tak hanya Arab Saudi, terdapat empat negara lainnya yang juga bergabung pada blok tersebut.
Mengutip Bloomberg, Rabu (3/1/2024) keanggotaan kelompok negara-negara pasar berkembang BRICS bertambah dua kali lipat dengan bergabungnya Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia dan Mesir.
Adapun, anggota pada saat ini yakni Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan pada Agustus 2023 mengundang enam negara lain untuk menjadi bagian dari kelompok mereka, menggabungkan beberapa produsen energi terbesar di dunia dengan beberapa konsumen terbesar di antara negara-negara berkembang.
Namun, dari enam undangan tersebut, hanya Argentina yang menolak undangan tersebut setelah Presiden Javier Milei yang baru membatalkan tawaran keanggotaan dari pendahulunya.
Kelima negara yang diundang tersebut kemudian mengirimkan perwakilan tingkat senior ke pertemuan sherpa BRICS di Durban, Afrika Selatan pada awal bulan Desember 2023. Kelima negara tersebut berpartisipasi penuh dalam pertemuan tersebut.
"Sebuah indikasi yang jelas bahwa mereka telah menerima undangan [untuk bergabung]," jelas duta besar Pretoria untuk blok tersebut, Anil Sooklal.
Baca Juga
Kemudian, para anggota baru juga akan mengirimkan pejabat ke pertemuan sherpa di Moskow pada 30 Januari 2024.
Di lain sisi, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menuturkan bahwa sekitar 30 negara ingin menjalin hubungan dengan blok BRICS tersebut.
Menteri Luar Negeri Yusuf Tuggar juga mengatakan bahwa negara dengan populasi terbesar di Afrika, Nigeria, juga berupaya menjadi anggota BRICS dalam dua tahun kedepan.
Menurut Bloomberg Intelligence, BRICS, kecuali India, telah mencatatkan kinerja yang lebih buruk jika dibandingkan dengan negara-negara pasar berkembang selama lima tahun terakhir.
Sanksi yang dilancarkan AS juga telah membuat Rusia menjadi negara yang terlarang bagi para investor asing. Beberapa sektor di China, utamanya perusahaan teknologi, juga terkena sanksi atau berisiko berpotensi menghadapi larangan investasi.