Bisnis.com, JAKARTA – Keinginan negara-negara yang tergabung dalam BRICS untuk mengurangi ketergantungan dolar Amerika Serikat (AS) nampaknya membutuhkan waktu lebih lama, yakni setidaknya 20 tahun.
Hal itu disampaikan Mantan Menteri Keuangan (2013-2014) Chatib Basri. Menurutnya, saat ini proporsi pengganti dolar AS yang direncanakan BRICS, yakni renminbi China, masih sangat kecil. Sementara porsi dolar AS dan euro masih mendominasi di pasar internasional.
“[Dedolarisasi] butuh waktu 10 atau 20 tahun, karena porsi dari renminbi dalam global hanya 4%,” ujarnya dalam sebuah perbincangan di YouTube, dikutip pada Kamis (16/11/2023).
Chatib menjelaskan, bahwa saat ini pun pembayaran menggunakan renminbi belum diterima di banyak negara. Berbeda dengan dolar AS yang dapat digunakan dengan banyak negara.
Bahkan, di Indonesia pun, penyimpangan berupa korupsi pun dilakukan menggunakan mata uang dolar AS.
“[Indonesia] kan sampai korupsi saja kan dibayarnya dengan dolar. Selalu yang ditemukan dolar, euro jarang ya apalagi renminbi,” tuturnya.
Baca Juga
Di luar renminbi, negara-negara BRICS, yakni Brazil, Russia, India, China, South Africa berencana menciptakan mata uang bersama.
Dalam pemberitaan Bisnis sebelumnya, mata uang bersama negara berkembang ingin untuk menjembatani perdagangan dan investasi antar anggota. Upaya ini sekaligus langkah mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar dolar.
Menurut Bank of International Settlements Data, dolar AS masih mendominasi hampir 90 persen transaksi valas global.
Dedolarisasi juga membutuhkan eksportir dan importir yang tak terhitung jumlahnya. Tak hanya itu, peminjam, pemberi pinjaman, dan pedagang mata uang di seluruh dunia, perlu secara mandiri memutuskan untuk menggunakan mata uang lain.
Di dalam negeri, Indonesia telah mulai menggunakan mata uang lokal dalam transaksi di luar negeri. Bank Indonesia melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) kini bukan hanya dapat digunakan di Indonesia saja namun di Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina.