Bisnis.com, JAKARTA - Permintaan pasokan biomassa domestik bakal menggeliat, terdorong kebutuhan co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai salah satu komitmen RI dalam memperbesar porsi penggunaan sumber energi bersih.
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menjelaskan, kebijakan memperbesar biomassa bukan hanya sesuai dengan tren transisi energi, melainkan turut menjadi jalan keluar masalah limbah di perkotaan, serta mengoptimalkan nilai tambah kawasan pedesaan.
"Pemerintah daerah akan punya peran besar untuk memetakan potensi biomassa di wilayahnya. Karena biomassa itu pada prinsipnya berasal dari limbah dan sampah sehingga justru bisa sekaligus mengatasi masalah sosial," ujarnya ketika dihubungi, Sabtu (30/12/2023).
Menurutnya, potensi biomassa di kawasan perkotaan perlu didorong untuk mengatasi masalah tumpukan sampah rumah tangga. Kepala daerah di wilayah yang bertumpu pada sektor pertanian, kehutanan, dan perkebunan harus punya kesadaran mulai membawa daerahnya sebagai rantai pasok biomassa.
Adapun, limbah atau residu tanaman yang bisa menjadi biomassa, antara lain sekam, jerami padi, bonggol jagung, bagasse, pucuk daun tebu, limbah aren, limbah sagu, residu kelapa, tandan kosong pelepah sawit, dan lain-lain.
Senada, Rektor Institut Teknologi PLN Iwa Garniwa menekankan bahwa program co-firing berpotensi menjadi bisnis besar yang bisa melibatkan petani atau peternak di daerah.
Baca Juga
"Maka dari itu, pemerintah harus bantu membangun ekosistem rantai pasoknya sampai bisa diserap oleh PLTU batu bara terdekat. Karena biomassa ini sumber energi bersih termurah yang teknologinya tidak perlu impor dari luar negeri," kata Iwa.
Secara umum, saat ini penyerapan biomassa dalam program co-firing PLTU batu bara telah mencapai 0,9 juta ton hingga akhir November 2023 dari target di level 1,05 juta ton.
Sampai dengan saat ini, sudah ada 43 PLTU yang melaksanakan co-firing. Pada 2025, ditargetkan terdapat 52 PLTU di Indonesia yang melaksanakan co-firing biomassa. Selanjutnya, target realisasi co-firing diharapkan mencapai masing-masing 2,83 juta ton pada 2024 dan 10,20 juta ton pada 2025.
Bisnis biomassa juga dilirik emiten bisnis energi skala besar seperti PT Maharaksa Biru Energi Tbk. (OASA). Direktur Utama OASA Bobby Gafur Umar menjelaskan, pihaknya berencana bisnis transisi energi dari hulu sampai hilir dengan proyek terdekat akan dibangun di Pulau Bangka.
Proyek itu arahnya mengelola biomassa dengan target produksi 9.000 ton per bulan. Salah satunya untuk memasok biomassa PLTU Air Anyir.
Tahun depan, OASA akan membuat proyek serupa di Lebak Banten; Blora, Jawa Tengah; dan Nusa Tenggara Barat. Masing-masing merupakan penyediaan biomassa untuk pembangkit listrik seperti PLTU Labuan Banten dan PLTU Rembang.
“Semuanya memanfaatkan limbah pertanian dan kehutanan kawasan setempat, dan akan dipergunakan juga untuk cofiring PLTU sekitar kawasan masing-masing. Bahkan, untuk proyek kami di Bangka, kami sedang menjajaki potensi membangun PLTBm,” ujarnya.
Bobby menjelaskan bisnis biomassa melibatkan sisi upstream langsung dari masyarakat sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan. Maka dari itu, OASA bekerja sama dengan pemerintah daerah, BUMD, sampai BUMDes dalam rangka membuat rantai pasok biomassa.