Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mendorong pemerintah untuk meninjau ulang peta jalan hilirisasi bauksit, khususnya pada kewajiban delapan perusahaan saat ini untuk mendirikan pabrik pemurnian dan pengolahan atau smelter.
Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I Ronald Sulistyanto mengatakan, pengerjaan smelter dari delapan perusahaan yang diwajibkan untuk mendirikan pabrik pengolahan lanjutan saat ini masih jalan di tempat.
Selepas keran ekspor bauksit disetop pada Juni 2023, Ronald mengatakan, delapan perusahaan itu masih kesulitan untuk menghimpun pendanaan atau pinjaman dari lembaga pembiayaan untuk melanjutkan pembangunan smelter tersebut.
“Hilirisasi untuk bauksit itu berbeda dengan nikel, tidak bisa dipaksakan siapa yang mau investasi US$1,2 miliar, hari ini break even point [BEP] smelter bauksit akan menjadi 15 tahun sampai dengan 20 tahun,” kata Ronald saat dihubungi, Kamis (21/12/2023).
Apalagi, kata dia, kewajiban untuk delapan perusahaan membangun smelter bakal membuat pasokan untuk alumina nantinya berlebih yang akhirnya menekan harga di pasar domestik dan internasional. Di sisi lain, dia menambahkan, kapasitas input atau serapan dari pabrik aluminium di dalam negeri saat ini masih terbatas.
“Tolong dikaji kembali perlu waktu lah, bukannya tidak bisa dan ini perlu turun tangan pemerintah, kan pemerintah juga minta delapan perusahaan ini bikin smelter sudah jadi masalah, kalau semua perusahaan dirikan smelter kebutuhan alumina untuk aluminium itu tidak sebanding juga,” kata dia.
Baca Juga
Selepas moratorium ekspor bauksit per 10 Juni 2023, pemerintah mengidentifikasi kapasitas input empat smelter yang sudah beroperasi komersial di dalam negeri sebanyak 13,88 juta ton, dengan kapasitas produksi smelter grade alumina (SGA) mencapai 4,3 juta ton.
Adapun, keempat smelter yang beroperasi saat ini, di antaranya PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, Ketapang, dengan kapasitas produksi SGA mencapai 1 juta ton. Lalu, smelter PT Well Harvest Winning Alumina Refinery hasil ekspansi yang menambah kapasitas produksi SGA perusahaan sebanyak 1 juta ton.
Smelter yang sudah beroperasi ketiga milik PT Indonesia Chemical Alumina, Tayan, dengan kapasitas produksi chemical grade alumina (CGA) mencapai 300.000 ton. Selanjutnya, smelter keempat milik PT Bintan Alumina Indonesia, Bintan, dengan kapasitas produksi SGA sebesar 2 juta ton.
Kementerian ESDM mencatat bakal ada pengurangan ekspor bauksit sampai dengan 8,09 juta ton selepas periode moratorium nanti. Volume ekspor bauksit tertahan itu mencapai US$288,52 juta setara dengan Rp4,31 triliun (asumsi kurs Rp14.945 per dolar AS).
Pada 2024, terdapat bauksit yang tidak diserap dalam negeri sebesar 13,86 juta ton setara dengan nilai ekspor kurang lebih US$494,6 juta atau Rp7,39 triliun. Konsekuensinya, penerimaan negara dari royalti bauksit bakal terkoreksi US$49,6 juta setara dengan Rp741,27 miliar.
“Namun, dari fasilitas pemurnian yang telah beroperasi, terdapat nilai tambah bijih bauksit sebesar US$1,9 miliar [Rp28,39 triliun] sehingga pemerintah masih mendapatkan manfaat bersih sebesar US$1,5 miliar [Rp22,41 triliun] dan lapangan pekerjaan untuk 7.627 orang,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, beberapa waktu lalu.
Saat ini, masih terdapat delapan smelter dalam proses pembangunan dengan kapasitas input bauksit keseluruhan mencapai 27,41 ton dan kapasitas produksi alumina sebesar 9,98 juta ton.
Hanya saja, Indonesia baru memiliki satu pabrikan aluminium milik PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum, Kuala Tanjung, dengan kapasitas input alumina sekitar 500.000 ton setiap tahunnya. Sementara kemampuan produksi Inalum untuk aluminium ingot berada di batas atas 225.000 ton, aluminium alloy dengan kapasitas 90.000 ton, dan aluminium billet dengan kemampuan produksi 30.000 ton.
Mengacu pada peta rantai pasok bauksit Indonesia milik Kementerian ESDM pada 2020, saat itu produksi bijih bauksit dalam negeri setiap tahunnya sebesar 26,3 juta ton. Volume produksi itu sebagian besar diekspor sekitar 22,8 juta ton, sisanya 1,74 juta ton dipakai di dalam negeri untuk pengolahan alumina.
Lewat alokasi domestik itu, Indonesia bisa memproduksi 1,17 juta ton alumina, hanya saja 0,99 juta ton alumina mesti diekspor. Sisanya, 150.000 ton SGA dialokasikan untuk pemurnian aluminium dalam negeri dan 25.000 CGA dialihkan langsung untuk industri seperti kertas, detergen, kabel dan lainnya.
Dengan demikian setiap tahunnya, Indonesia baru memproduksi aluminium sebesar 250.000 ton dan diperlukan impor SGA mencapai 350.000 ton. Di sisi lain, kebutuhan aluminium domestik sebesar 1 juta ton sehingga setiap tahunnya Indonesia mesti mengimpor sekitar 748.000 ton aluminium.