Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan eksportir blak-blakan soal implementasi Peraturan Pemerintah No.36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan Pengolahan Sumber Daya Alam (DHE SDA). Eksportir pun memberikan sejumlah usulan untuk dievaluasi oleh pemerintah.
Pemerintah telah memutuskan untuk memperpanjang masa evaluasi aturan DHE SDA. Hal itu seiring realisasi yang masih rendah dari target.
Adapun, per 2 November 2023, devisa yang masih diparkir di luar negeri tercatat sebesar US$8 miliar, sedangkan yang terparkir di dalam negeri hanya US$2 miliar.
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Moelyono Soesilo, mengatakan selama ini aturan DHE SDA telah memberatkan mereka dalam mengelola cashflow mereka. Apalagi, bagi eksportir kecil dan menengah yang nilai ekspornya di bawah US$500.000.
"Sebenernya, terus terang ada kesulitan dengan cashflow kita," kata Moelyono saat dihubungi, Rabu (6/12/2023).
Di sisi lain, meskipun berimbas pada cashflow mereka, menurut Moelyono para eksportir kopi tetap mengikuti aturan DHE dan memarkirkannya di dalam negeri. Tentunya mereka memilih tenor yang paling cepat yakni 3 bulan.
Baca Juga
"Karena kalau enggak kita jalankan [aturan DHE] bakal dicabut izin ekspornya dan segala macam, jadi mau enggak mau follow the rule lah," tuturnya.
Dia pun mengusulkan, agar pemerintah dalam evaluasi kebijakan DHE SDA turut mempertimbangkan batas minimum nilai ekspor yang wajib mengikuti kebijakan tersebut. Menurutnya, eksportir kecil dan menengah tidak perlu dibebankan dengan wajib mengikuti aturan DHE.
"Mungkin juga bisa dipertimbangkan untuk nilai [minimum ekspor] ditingkatkan lagi untuk eksportir yang kena aturan DHE, misalnya US$500.000 - US$1 juta. Jadi eksportir yang kecil dan menengah tidak terkena pengaruhnya," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, menilai, seharusnya devisa yang diparkirkan eksportir di dalam negeri selama 3 bulan, tetap bisa digunakan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
"Seharusnya DHE tersebut bisa digunakan oleh eksportir pada saat dibutuhkan dengan kurs tengah untuk ditukarkan ke Rupiah," ujarnya.
Setali tiga uang, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menyatakan bahwa para eksportir membutuhkan modal kerja. Menurutnya, devisa yang terlalu lama disimpan membuat para eksportir terpaksa mencari dana dari pihak ketiga.
"Pertanyaannya apakah dana pihak ketiga itu, cost-nya dapat menutupi dari dana yang disimpan tersebut?," katanya.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah dapat mempersingkat masa penyimpanan devisa eksportir dan memberikan relaksasi untuk penarikan secara mendadak dengan syarat tertentu.
"Misalnya maksimal 3 bulan, tetapi kalau ada kebutuhan bisa 1 atau 2 bulan saja dengan syarat tertentu. Saya rasa itu saja," ujar Eddy saat dihubungi.
Berdasarkan catatan Bisnis, Jumat (1/12/2023), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan perpanjangan masa evaluasi diputuskan untuk menampung masukan dari para pelaku usaha terkait beleid tersebut.
Keputusan telah ditetapkan dalam Rapat Koordinasi Tingkat Menteri yang digelar di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kamis (1/12/2023). Di sisi lain, Airlangga menyampaikan bahwa PP No.36/2023 telah terimplementasi dengan baik dan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi.
“Compliance-nya [terhadap PP 36/2023] sudah bagus. Yang tidak comply hanya 1%, tapi tiga bulan kita pantau lagi, kita sosialisasi lagi ke pelaku usaha,” katanya melalui keterangan resmi, Jumat (1/12/2023).