Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan pengholahan minyak nabati, Apical Group mengembangkan bahan bakar rendah emisi gas rumah kaca untuk sektor penerbangan (Sustainable Aviation Fuel/SAF)memanfaatkan biofuel berbasis residu minyak nabati, termasuk minyak sawit.
“Apical telah bekerja sama dengan Cepsa membangun pabrik biofuel generasi kedua di Eropa Selatan yang berkapasitas 500.000 ton/tahun. Ini bisa memangkas emisi karbon hingga 1,5 juta ton per tahun dari sektor penerbangan,” kata General Manager Green Energy, Biofuel Feedstock & Business Development Apical, Aika Yuri Winata saat sesi diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP28 UNFCCC di Dubai, Uni Emirat Arab, Jumat, 1 Desember 2023.
Dia menjelaskan sektor penerbangan global adalah kontributor penting terhadap emisi GRK dimana pada tahun 2019 sekitar 3% dari emisi karbon berasal dari sektor penerbangan.
Di sisi lain, penerbangan juga menjadi sektor yang sangat menantang dalam proses dekarbonisasi diantaranya persyaratan teknis dengan standar tinggi yang mesti dipenuhi.
Meski demikian, sektor ini juga sudah menyatakan komitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2050.
Kondisi tersebut merupakan peluang untuk pengembangan SAF. Pemanfaatan SAF bisa memangkas emisi GRK sektor penerbangan hingga 90%. Diprediksi, kebutuhan SAF secara global akan mencapai 53 juta ton per tahun.
Tantangannaya adalah keterbatasan supply dan jenis bahan baku yang bisa digunakan. Hal ini, membuat pemanfaatan SAF bisa memantik kenaikan harga tiket.
"Untuk mengatasi tantangan itu, Apical memanfaatkan residu dan limbah minyak nabati," kata Aika.
Lebih lanjut, dia menyatakan, ASEAN menjadi salah satu wilayah yang berpoetnsi besar untuk menyediakan bahan baku yang dibutuhkan. Pasalnya ada sekitar 10,4 juta ton residu dan limbah minyak nabati seperti berupa minyak goreng bekas, Palm Oil Mill Effluent (POME), minyak tandan kosong sawit, dan Palm Fatty Acid Distillate (PFAD).
Sementara itu Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro saat membuka diskui menjelaskan bahwa menjalankan operasional sekadar ramah lingkungan tidak cukup.
Saat ini perusahaan dituntut untuk melaksanakan bisnis regeneratif. “Bisnis regeneratif mengikuti prinsip-prinsip alam yang akan memberikan lebih banyak dampak bagi Masyarakat,” katanya.
Menurut Sigit, transisi energi, solusi berbasis alam (nature based solution) dan pendekatan berbasis ekosistem, pemanfaatan biomassa dan sirkularitas adalah beberapa cara yang menjanjikan untuk menerapkan bisnis regeneratif.
“Implementasinya dapat memberi pertumbuhan eksponensial dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan,” katanya. ***