Bisnis.com, JAKARTA - Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa perekonomian nasional harus diselenggarakan atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam juga harus ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ironisnya, bukti empiris yang terjadi di lapangan justru menunjukan perekonomian nasional yang seolah-olah didesain untuk mencapai kemajuan ekonomi tanpa mempertimbangkan prinsip kebersamaan, keberlanjutan lingkungan, serta kemandirian.
Misalnya saja, Indonesia kembali berstatus sebagai negara kelas menengah atas (upper-middle-income) pada 2022, setelah sebelumnya turun menjadi negara kelas menengah bawah (lower-middle income) akibat hantaman pandemi Covid-19.
Perolehan status ini disebabkan karena meningkatnya pendapatan per kapita Indonesia menjadi US$4.783, dari yang sebelumnya sebesar US$4.349 pada tahun 2021.
Pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan melalui pendapatan per kapita ini bahkan lebih tinggi dibanding periode sebelum Covid-19 yang hanya mencapai US$4.174 pada 2019. Dari indikator pendapatan per kapita tersebut, kita dapat melihat bahwa pada 2022, Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika dibandingkan dengan tahun pra pandemi, yaitu 2019.
Namun, peningkatan kelas tersebut tidak disertai dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi tersebut ditunjukan oleh beberapa indikator. Kesenjangan ekonomi yang dicerminkan melalui indeks gini, justru meningkat pascapandemi Covid-19. Tahun 2022 mencapai 0,381 sementara tahun 2023 naik menjadi 0,388. Indeks gini tersebut belum kembali ke level pra-pandemi yang mencapai 0,380 pada tahun 2019.
Baca Juga
Selain itu, tingkat pengangguran pada 2022 masih relatif tinggi, yaitu sebesar 5,86%. Meskipun tingkat pengangguran telah menurun menjadi 5,32% pada awal 2023, tetapi ini masih lebih tinggi dibandingkan 2019 yang hanya sebesar 5,23%. Sektor ketenagakerjaan pun belum mengalami perbaikan.
Hal ini terlihat dari proporsi tenaga kerja informal yang makin tinggi dan pertumbuhan upah yang lebih rendah dari inflasi. Dari beberapa indikator di atas, kita dapat melihat bahwa pertumbuhan perekonomian yang tinggi rupanya tidak disertai dengan penurunan tingkat kesenjangan dan pengangguran. Kondisi ini tentu tidak sejalan dengan prinsip kebersamaan dalam konstitusi Indonesia.
Selain indikator sosial ekonomi yang masih belum menunjukkan perbaikan, sisi lingkungan pun masih belum sepenuhnya diperhatikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Mengacu pada data European Commission, emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia pada 2022 meningkat 10% secara tahunan, menjadi 1.240 Mton CO2eq. Angka ini bahkan lebih tinggi dari emisi GRK 2019 yang hanya mencapai 1.160 Mton CO2eq.
Besarnya emisi GRK ini utamanya berasal dari sektor energi yang masih menggunakan sumber energi fosil sebagai sumber energi utamanya. Bahkan pada 2020, bauran sumber energi batubara dalam industri pembangkit listrik telah naik menjadi 66%, dari yang hanya 46% pada tahun 2011. Padahal, jika kita mengacu pada konsep ekonomi lingkungan, peningkatan degradasi lingkungan hingga titik tertentu akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia nantinya. Kondisi ini juga kurang sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan seperti yang tercantum dalam konstitusi Indonesia.
Di sisi lain, perekonomian nasional juga belum menerapkan prinsip kemandirian. Dalam konteks pangan misalnya, ketergantungan kebutuhan konsumsi gandum Indonesia terhadap impor sangatlah tinggi. Ini dapat dilihat melalui indikator import dependency ratio (IDR) komoditas gandum hingga sebesar 100% pada 2022. Artinya, 100% kebutuhan konsumsi gandum Indonesia dipenuhi melalui impor. Padahal, kebutuhan konsumsi gandum di Indonesia tergolong tinggi. Pada 2022 misalnya, konsumsi gandum mencapai 1/4 dari konsumsi beras. Selain gandum, IDR komoditas gula di Indonesia juga sangat tinggi, yaitu mencapai 82,16% pada tahun 2022. Padahal, kebutuhan konsumsi gula Indonesia pada tahun 2022 juga termasuk tinggi, yaitu mencapai 1/3 dari konsumsi beras.
Dari kedua contoh ketergantungan di atas, dapat dilihat bahwa kemandirian pangan masih belum bisa dilaksanakan. Ketergantungan yang besar ini juga tentunya memiliki risiko yang besar, utamanya pada risiko nilai tukar. Di samping itu, apabila terjadi permasalahan yang dapat menghambat suplai komoditas dari negara produsen, maka harga-harga komoditas tersebut akan melambung tinggi. Akibatnya, biaya impor dan biaya akhir yang harus dibayar oleh masyarakat juga akan ikut membengkak.
Berbagai kondisi di atas sudah seharusnya menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan, terutama bagi calon presiden dan wakil presiden yang terpilih nantinya. Berbagai program yang diusung semestinya sudah berlandaskan konstitusi Indonesia. Maka dari itu, reorientasi arah kebijakan perekonomian merupakan hal yang mutlak dilakukan, agar cita-cita konstitusi yakni memajukan kesejahteraan umum dapat tercapai.