Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) ikut mendorong agar kebijakan domestic price obligation (DPO) atau patokan harga khusus batu bara U$70 per ton untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk ditinjau ulang.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan bahwa asosiasi melihat bahwa kebijakan harga batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) tersebut memang perlu dikaji kembali dan pihaknya sudah pernah mengusulkan ke pemerintah sebelumnya.
“Dalam konteks agar kebijakan harga khusus ini dikaji lagi iya [mendukung], APBI juga sudah pernah menyampaikan sebelumnya,” kata Hendra kepada Bisnis, dikutip Minggu (19/11/2023).
Hendra mengatakan, kebijakan harga batu bara yang dipatok tersebut memberatkan bagi pengusaha pertambangan. Terlebih, biaya operasional penambangan terus naik setiap tahunnya dan pengusaha terbebani kenaikan biaya akibat regulasi dan kebijakan lainnya, seperti kenaikan tarif royalti.
“Namun, kami juga memahami keinginan pemerintah untuk menjamin kelancaran pasokan dan ketahanan energi nasional,” ujarnya.
Selain kebijakan harga khusus batu bara untuk PLN, Hendra juga berharap agar pemerintah mengkaji ulang harga khusus penjualan batu bara ke industri nonkelistrikan.
Baca Juga
“Kami juga ingin agar kebijakan harga khusus penjualan batu bara ke industri nonkelistrikan agar dikaji kembali,” ucap Hendra.
Sebelumnya, Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) mengusulkan agar pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan DPO batu bara untuk sektor ketenagalistrikan.
Sekretariat JETP menilai kebijakan patokan harga khusus batu bara sebesar US$70 per ton tersebut dapat menghambat proses transisi energi di sektor ketenagalistrikan.
Spesialis Pendanaan dan Kebiajakan Sekretariat JETP Elrika Hamdi mengatakan, kebijakan DPO bermasalah karena menciptakan ilusi bahwa harga batu bara untuk PLTU murah dan stabil. Padahal, harga komoditas emas hitam itu bergerak fluktuatif sehingga menciptakan ketidakstabilan.
“Bagian kebijakan DPO ini yang kami anggap menjadikan beberapa risiko. Pertama, mengahambat proses dekarbonisasi di Indonesia karena PLTU dianggap murah,” kata Elrika dalam Dialog Masyarakat Sipil JETP, Selasa (14/11/2023).