Bisnis.com, JAKARTA - Indonesian Mining & Energi Forum (IMEF) menilai usulan Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mengevaluasi kebijakan domestic price obligation (DPO) batu bara untuk sektor ketenagalistrikan kurang tepat.
Ketua IMEF Singgih Widagdo mengatakan bahwa kritik Sekretariat JETP terkait kebijakan DPO dan domestic market obligation (DMO) batu bara tidak tepat. Terlebih kritik tersebut sebatas diletakkan pada angka absolut saja.
“Yaitu tanpa melihat historis pertambangan di Indonesia dan amanah konstitusi, apalagi dinilai sebagai ilusi harga batu bara,” kata Singgih saat dihubungi, Kamis (15/11/2023).
Singgih menyebut, pemerintah dalam mengelola kebutuhan kelistrikan nasional, baik harga energi bagi kebutuhan industri untuk kepentingan kompetisi di pasar ekspor maupun kepentingan kebutuhan listrik untuk masyarakat, tetap harus mempertimbangkan trilemma energi, khususnya keterjangkauan atau daya beli masyarakat.
Singgih justru mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah dalam mendahulukan kepentingan kebutuhan nasional dalam industri pertambangan batu bara.
“Saya tetap mengapresiasi sikap pemerintah [Kementerian ESDM] dalam menetapkan DPO dan DMO batu bara. Justru ini sebagai kebijakan positif ESDM dalam mengelola batu bara dalam konteks bagi kepentingan kebutuhan masyarakat dan industri,” ujarnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Singgih menuturkan, pemerintah perlu juga menghormati investor pertambangan batu bara yang telah menanamkan modal cukup besar. Namun, mengubah kebijakan DPO dan DMO batu bara bukanlah langkah yang tepat karena pergerakan harga batu bara global akan membebani PLN.
Salah satu cara yang seharusnya direalisasikan adalah implementasi skema pungut salur iuran batu bara melalui mitra instansi pengelola (MIP) yang saat ini memasuki tahap penyelesaian.
“Dengan MIP jelas, trilemma affordibility terakomodir, tidak menganggu APBN, tidak mengganggu keuangan PLN dan berkeadilan dalam konteks pemerintah mengelola sumber alam batu bara,” tutur Singgih.
Menurutnya, MIP adalah pilihan terbaik di mana pihak yang memiliki volume ekspor lebih dapat menyubsidi pemasok batu bara bagi kepentingan di dalam negeri. Untuk itu, dia menilai kebijakan MIP semestinya dapat segera dikeluarkan untuk menjawab disparitas harga batu bara DMO dan ekspor, yang menjadi potensi terganggunya keandalan pasokan batu bara nasional.
“Juga harus diingat, bahkan sampai 10 tahun ke depan, kewajiban DMO batu bara sebatas sekitar 25% sampai 30% sehingga pelaku usaha tetap dapat memanfaatkan potensi volume ekspor jauh lebih besar dibandingkan pasokan ke PLN [kelistrikan umum],” ucapnya.
Sebelumnya, Sekretariat JETP mengusulkan agar pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan DPO batu bara untuk sektor ketenagalistrikan.
Sekretariat JETP menilai kebijakan patokan harga khusus batu bara sebesar US$70 per ton tersebut dapat menghambat proses transisi energi di sektor ketenagalistrikan.
Spesialis Pendanaan dan Kebiajakan Sekretariat JETP Elrika Hamdi mengatakan, kebijakan DPO bermasalah karena menciptakan ilusi bahwa harga batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) murah dan stabil. Padahal, harga komoditas emas hitam itu bergerak fluktuatif sehingga menciptakan ketidakstabilan.
“Bagian kebijakan DPO ini yang kami anggap menjadikan beberapa risiko. Pertama, mengahambat proses dekarbonisasi di Indonesia karena PLTU dianggap murah,” kata Elrika dalam Dialoh Masyarakat Sipil JETP, Selasa (14/11/2023).