Bisnis.com, JAKARTA – Insentif atau pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk perumahan sebesar 11% berpotensi memperlebar porsi belanja perpajakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada tahun ini.
Skema insentif PPN rumah gratis tersebut memungkinkan masyarakat yang akan membeli rumah pada periode November 2023 hingga Juni 2024 tidak membayar PPN 11% alias 100% ditanggung pemerintah (DTP).
Kebijakan PPN DTP berlaku untuk pembelian rumah harga Rp2 miliar hingga Rp5 miliar pada periode Juli 2024 – Desember 2024. Dengan demikian, masyarakat akan mendapatkan diskon 50% untuk pajaknya.
Dengan kata lain, pemerintah harus mengeluarkan dana tambahan di pos belanja perpajakan untuk menutup penerimaan PPN tersebut. Sri Mulyani melaporkan total anggaran yang diperlukan untuk program PPN DTP senilai Rp3,38 triliun. Di mana Rp420 miliar untuk sisa tahun ini, dan Rp2,96 triliun untuk 2024.
Pada 2023, pemerintah memproyeksikan belanja perpajakan mencapai Rp352,8 triliun, di mana belanja untuk PPN dan PPnBM memiliki porsi terbesar, yaitu Rp209,4 triliun atau 59,35% dari proyeksi.
Sementara pada 2024, belanja perpajakan akan diproyeksi lebih besar menjadi Rp374,5 triliun, di mana porsi PPN dan PPnBM hingga Rp228,1 triliun.
Baca Juga
Artinya, dengan adanya kebijakan PPN DTP sektor perumahan, setidaknya akan sedikit menambah belanja perpajakan untuk 2023 menjadi Rp353,22 triliun dan pada 2024 menjadi Rp377,46 triliun.
Meski demikian, usaha tersebut menjadi langkah pemerintah dalam mendorong permintaan akan perumahan dan memberikan efek rambatan kepada sektor konstruksi. Hal itu pula pada ujungnya akan membantu mengerek pertumbuhan ekonomi.
“Kita harapkan, dengan demikian sektor properti perumahan akan meningkat kegairahan dari pembeli maupun para pengembang karena rumah tinggal Rp2 miliar, pasti kemudian permintaan naik, jadi dalam hal ini sektor properti akan merespons,” ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Plus Minus Insentif PPN Perumahan
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal melihat hal mutlak dengan adanya insentif bahwa akan memberikan beban kepada APBN.
“Jelas kalau setiap ada insentif yang diberikan pasti ada bebannya kepada APBN. Tetapi ini juga dimaksudkan untuk sektor riil terutama untuk pembelian rumah,” ujarnya, Jumat (10/11/2023).
Menurutnya, melalui belanja tersebut sejalan untuk menggerakkan ekonomi dan diharapkan pembelian dari tempat tinggal akan mengalami peningkatan dan juga mendoong konsumsi serta mendorong pemenuhan kebutuhan masyarakat yang lebih baik.
Sektor properti tercatat mempunyai sumbangan dan multiplier-effect yang besar dalam perekonomian nasional, di mana kontribusi terhadap PDB sebesar 14-16%, dan kontribusi terhadap penerimaan perpajakan sekitar 9,3% atau sebesar Rp185 Triliun per tahun.
Bukan itu saja, pendapatan dari properti juga menyumbang ke penerimaan daerah (PAD) sebesar Rp92 Triliun atau sekitar 31,9% dari PAD Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.
“Jadi ada plus minusnya memang ada, tapi saya rasa ini dibutuhkan untuk kondisi tahun depan juga,” lanjutnya.
Walaupun menambah beban belanja negara, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat kebijakan tersebut sangat positif terhadap masyarakat yang ingin memiliki rumah.
“Saya sebenarnya setuju tapi desainnya kurang tepat. Insentif pembelian rumah harusnya didesain bagi keluarga yang belum memiliki rumah, kalau 1 NPWP/NIK satu insentif menurut saya kurang tepat,” ujarnya, Kamis (9/11/2023).
Menurut Fajry, dengan desain seperti itu akan memberikan kompetisi bagi masyarakat yang belum punya rumah sama sekali, dengan masyarakat berpenghasilan atas untuk menambah asetnya sementara suplai rumah masih terbatas.
Pasalnya, saat ini angka ketimpangan pemilikan rumah (backlog) perumahan telah mencapai 12,7 juta. Artinya, sebanyak 12,7 juta orang yang membutuhkan rumah namun tak ada suplai.
Dari sisi pelaku usaha, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI), Joko Suranto memproyeksi bahwa dengan ditetapkannya kebijakan insentif tersebut, pasar properti diperkirakan akan kebanjiran dana mencapai Rp10 triliun dengan output pada ekonomi nasional mencapai Rp1,8 triliun.