Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi China kembali mengalami deflasi pada Oktober 2023. Kondisi tersebut kian membuktikan perjuangan negara ini dalam menopang pertumbuhan melalui permintaan domestik.
Biro Statistik Nasional mengatakan harga-harga konsumen atau inflasi China turun 0,2% pada Oktober 2023 setelah berada di dekat nol dalam dua bulan sebelumnya. Hal itu berbeda tipis dibandingkan dengan perkiraan penurunan 0,1% dalam survei yang dilakukan oleh Bloomberg.
Sementara itu, harga produsen turun selama 13 bulan berturut-turut, atau anjlok 2,6% dibandingkan dengan perkiraan penurunan 2,7%. Biaya konsumen sangat lemah tahun ini.
Indeks harga konsumen China tergelincir ke dalam deflasi pada Juli 2023. Ekonomi China tertatih-tatih dan berada di tepi pertumbuhan negatif tahun ke tahun.
Meskipun bank sentral China atau People's Bank of China (PoBC) mengatakan pada Agustus 2023 bahwa harga-harga akan pulih dari masa sulit di musim panas, data terbaru menunjukkan bahwa penilaian tersebut terlalu optimis.
"Memerangi disinflasi yang terus-menerus di tengah lemahnya permintaan tetap menjadi tantangan bagi para pembuat kebijakan RRT," kata Bruce Pang, kepala ekonom untuk RRT di Jones Lang LaSalle Ltd dikutip dari Bloomberg, Kamis (9/11/2023).
Menurutnya, sebuah bauran kebijakan yang tepat dan langkah-langkah yang lebih mendukung diperlukan untuk mencegah ekonomi dari penurunan ekspektasi inflasi yang dapat mengancam kepercayaan bisnis dan pengeluaran rumah tangga.
Nilai Yuan luar negeri (renminbi) sedikit berubah pada 7,2854 per dollar AS segera setelah data ini dirilis, tetap berada dalam kisaran yang ketat sejak pembukaan pasar Kamis (9/11/2023). Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah China bertenor 10 tahun bertahan stabil di 2,65%.
Tingkat inflasi China telah rendah tahun ini karena faktor-faktor domestik seperti kemerosotan perumahan dan lemahnya kepercayaan konsumen, dan faktor-faktor internasional termasuk penurunan harga-harga komoditi global dari level tertinggi tahun lalu, dan lemahnya permintaan untuk barang-barang buatan Negeri Tirai Bambu yang menyebabkan penurunan ekspor.
Penurunan harga konsumen baru-baru ini didorong oleh penurunan besar pada harga daging babi, yang merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi di negara ini, sehingga memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen China.
Sementara itu, para produsen daging babi meningkatkan pasokan, bertaruh pada lonjakan permintaan setelah berakhirnya pembatasan virus corona di negara itu pada akhir tahun lalu. Sayangnya, rebound tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi.
Tommy Xie, seorang ekonom di Oversea-Chinese Banking Corp Ltd mengatakan lemahnya angka inflasi terutama disebabkan oleh penurunan harga daging babi. Pelemahan itu dikombinasikan dengan angka PPI yang lemah, hal ini mengindikasikan permintaan yang terus-menerus lemah di dalam negeri.
"Hal ini berpotensi dilihat sebagai berita positif untuk bank-bank sentral global yang berjuang melawan inflasi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ekonomi China baru saja pulih, tidak ada ancaman langsung dari inflasi ekspor," tambah Xie.
Di sisi lain, deflasi melemahkan kepercayaan investor karena perusahaan-perusahaan mencatat pendapatan dan keuntungan dalam bentuk nominal. Hal ini meningkatkan tekanan pembayaran utang mereka, sebuah masalah dalam ekonomi dengan leverage tinggi seperti China.
Bukan itu saja, pelemahan ekonomi juga dapat melukai konsumsi karena konsumen mungkin menunda pembelian karena ekspektasi bahwa harga-harga akan turun lebih jauh di masa depan.
China diperkirakan akan mencatat pertumbuhan IHK sebesar 0,5% untuk setahun penuh (full year) pada 2023, menurut perkiraan median para ekonom yang disurvei Bloomberg. Angka tersebut jauh di bawah target tahunan pemerintah yang menargetkan kenaikan sekitar 3%.
Inflasi yang rendah telah menjadi salah satu bukti utama yang dikutip oleh para ekonom yang berpendapat bahwa ekonomi China tumbuh di bawah potensinya dan membutuhkan lebih banyak stimulus moneter dan fiskal.
Beijing telah meningkatkan pelonggaran moneter dan fiskal dalam beberapa bulan terakhir, seperti memotong suku bunga dan jumlah uang tunai yang harus disimpan oleh bank-bank, serta menerbitkan obligasi negara tambahan.
Upaya-upaya untuk mendukung perekonomian ini telah membantu meningkatkan permintaan untuk bahan baku selama beberapa bulan terakhir, namun hal ini tidak serta merta berdampak pada harga.
Impor minyak mentah telah melonjak 14% pada tahun ini hingga Oktober, sementara pembelian bijih besi untuk membuat baja telah meningkat 6,5%.
Namun pada saat yang sama, para produsen mulai dari perakit tembaga hingga pabrik baja dan penyulingan minyak telah melihat margin mereka tertekan karena harga tidak dapat mengimbangi biaya input mereka.