Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PLN Condong Turunkan Kapasitas PLTU Ketimbang Pensiun Dini, Ini Alasannya

PLN memastikan kondisi finansial dan keandalan sistem terbilang aman di tengah upaya menurunkan capacity factor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara
Uap mengepul dari tungku dengan latar belakang langit biru cerah. - Bloomberg/Waldo Swiegers
Uap mengepul dari tungku dengan latar belakang langit biru cerah. - Bloomberg/Waldo Swiegers

Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN memastikan kondisi finansial dan keandalan sistem terbilang aman di tengah upaya menurunkan capacity factor (CF) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara atau coal phase down ketimbang pensiun dini pembangkit (early retirement) untuk mengejar target nol emisi karbon.

Skema itu dijabarkan PLN lewat skenario Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down (ACCEL RE Coal Phase Down), dengan proyeksi tambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mencapai 62 gigawatt (GW) atau 75 persen dari kapasitas terpasang pembangkit sampai dengan 2040 mendatang.  

Sementara itu, pembangkit gas bakal mengambil bagian 25 persen dari kapasitas pembangkit nasional dalam revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) hingga 2040 nanti.  

“Secara total skenario ACCEL RE Coal Phase Down adalah skenario yang masih aman kepada PLN,” kata Executive Vice President Perencanaan Strategis Korporat PLN Harlen saat webinar series MKI, Kamis (2/11/2023).

Saat ini, PLN tengah mengkaji kemungkinan untuk mengurangi CF dari pembangkit milik PLN dan independent power producer (IPP). Hanya saja, opsi untuk mengurangi CF dari pembangkit milik IPP atau swasta relatif sulit untuk dilakukan lantaran terikat kontrak take or pay. 

Manuver itu diambil PLN lantaran minimnya komitmen pendanaan internasional untuk pembiayaan kompensasi rencana pensiun dini PLTU batu bara hingga saat ini.  

Harlen menerangkan opsi pensiun dini PLTU tidak mungkin dilakukan PLN lantaran bersiko tinggi untuk kondisi finansial perusahaan setrum pelat merah tersebut. Di sisi lain, pengurangan CF relatif aman dari sisi pinjaman serta sistem kelistrikan. 

Lewat skenario ACCEL RE Coal Phase Down, PLN membutuhkan belanja modal atau capital expenditure (Capex) mencapai US$204 miliar dalam kurun waktu 2023 sampai dengan 2040. Selama periode itu rasio keuangan masih memenuhi standar debt covenant dari lender

Rasio Debt to EBITDA pada skenario ini masih dalam treshold PLN dengan nilai tertinggi 4,9 kali, adapun ambang batas dipatok di level 5. Sementara, pada skenario pensiun dini PLTU Debt to EBITDA melampui ambang batas PLN di level 10,3 kali. 

Interest bearing debt kita dampaknya luar biasa kalau phase out bisa Rp4.732 triliun, sementara yang phase down Rp1.357 triliun, sementara posisi lainnya Rp762 triliun, sebenarnya sudah lewat batas yang diizinkan kementerian, mungkin beberapa bantuan internasional atau pemerintah bisa menyelesaikan masalah ini,” kata dia.

Sebelumnya, Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN belum memiliki Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang mutakhir untuk mengantisipasi ambisi pensiun dini atau phase out pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Apalagi, DEN mengidentifikasi, sebagian besar pensiun dini PLTU batu bara itu dilakukan di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali). 

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim meminta pemerintah dan PLN untuk tidak gegabah mengejar target nol emisi karbon lewat program pensiun dini PLTU tersebut. Herman berpendapat penghentian operasi PLTU batu bara itu masih berisiko tinggi saat ini. 

“PLTU terbesar ini ada di sistem Jamali, mungkin ada 80 persen, phase out saya dengar ini di Jawa dan belum ada rencana di RUPTL tentang bagaimana penyediaan listrik di Jawa jika PLTU di-phase out,” kata Herman dalam webinar series MKI, Kamis (2/11/2023).

Herman mengatakan rencana pensiun dini PLTU yang tidak cermat dapat berakibat fatal pada gangguan pasokan hingga kenaikan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Konsekuensinya, kenaikan BPP itu dapat membebani keuangan PLN dan tarif listrik di tengah masyarakat. 

Dia menyarankan agar pemerintah bersama dengan PLN membiarkan penghentian operasi PLTU secara alamiah berdasarkan masa kontrak saat ini. Sembari, dia menambahkan, tetap meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) setiap tahunnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Pandu Gumilar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper