Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Data Impor Tekstil BPS Beda dengan ITC, Bea Cukai: Belum Tentu Selisihnya Ilegal!

ITC mencatat impor tekstil China ke Indonesia mencapai US$6,5 miliar pada 2022. Sedangkan BPS mencatat impor tersebut hanya US$3,55 miliar.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengatakan perbedaan data tersebut memungkinkan terjadi. Data ekspor China tidak bisa serta-merta dicocokan dengan data impor di Indonesia/Bisnis- Dwi Rachmawati
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengatakan perbedaan data tersebut memungkinkan terjadi. Data ekspor China tidak bisa serta-merta dicocokan dengan data impor di Indonesia/Bisnis- Dwi Rachmawati

Bisnis.com, BEKASI - Pihak Bea dan Cukai angkat bicara ihwal perbedaan data impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari China antara versi Badan Pusat Statistik (BPS) dengan International Trade Center (ITC).

Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencatat data dari ITC untuk ekspor TPT dengan kode HS50-60 China ke Indonesia mencapai US$6,5 miliar pada 2022. Sedangkan BPS mencatat impor TPT dari China pada 2022 hanya US$3,55 miliar.

Dengan begitu, ada selisih nilai US$2,94 miliar atau setara Rp43 triliun yang tidak tercatat oleh BPS dan diduga sebagai impor ilegal.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengatakan perbedaan data tersebut memungkinkan terjadi. Data ekspor China tidak bisa serta-merta dicocokan dengan data impor di Indonesia.

"Itu perlu dikaji sebab itu banyak hal yang bisa menyebabkan perbedaannya, jadi enggak bisa apple to apple," ujar Askolani saat ditemui di Gudang Tempat Penimbunan Pabean (TPP) Bea Cukai Cikarang, Kamis (26/10/2023).

Dia membeberkan sejumlah faktor yang menyebabkan perbedaan data impor di Indonesia dengan ekspor negara asal. Mulai dari perbedaan kategori barang dalam HS, metodologi perhitungan hingga harga barang.

"Perbedaan data itu dimungkinkan kan tiap negara berbeda HS, sehingga dia bisa mencatat volume barang A, kita catatnya barang B," tutur Askolani.

Menurutnya selisih data itu tidak bisa langsung disebut sebagai ilegal, perlu dikaji lebih lanjut bersama berbagai pihak.

"Harus kita bedah jadi tidak sesimpel itu ya ngomongnya, sebab metodologi di China dan kita bisa beda," tuturnya.

Meskipun begitu, Askolani mengakui risiko penyelundupan itu tetap ada. Dia menyebut kasus perbedaan data impor juga pernah terjadi sebelumnya pada komoditas nikel. Menurutnya, saat itu, Bea Cukai turut melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Perdagangan dan Kementeri ESDM untuk mengkaji persoalan selisih data impor nikel.

"Kayak nikel ada yang kita tangkap kita tidak menampik, tangkapan ada, dan itu disalahgunakan," ungkapnya.

Askolani pun menegaskan, pihaknya akan terus melakukan pengawasan ihwal importasi dan menindak yang bersifat ilegal.

"Yang pasti, pengawasan tetap kita jalankan, itu enggak ada pilihan," katanya


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Rachmawati
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper