Bisnis.com, JAKARTA - Perekonomian Indonesia melanjutkan tren positif dengan tumbuh di atas 5 persen selama tujuh kuartal berturut-turut. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen pada kuartal III/2023.
Pertumbuhan positif ini menunjukkan ekonomi nasional resilien di tengah perlambatan ekonomi global.
Terjaganya ekonomi nasional tidak lepas dari kinerja perdagangan nasional. Neraca Perdagangan (NP) nasional, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), selalu surplus dalam 41 bulan terakhir.
NP yang positif berkontribusi pada terkendalinya (defisit) transaksi berjalan, yang menurut BI tercatat rendah di tengah kondisi penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global serta kenaikan permintaan domestik.
Pada laporan Kuartal II/2023, BI menyebutkan kinerja transaksi modal dan finansial tetap terkendali. Hal itu ditopang investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) di tengah tingginya kondisi ketidakpastian pasar keuangan global. Investasi langsung yang solid mengindikasikan terjaganya persepsi positif investor terhadap prospek ekonomi domestik.
Kepala Lembaga National Single Window (LNSW) Kementerian Keuangan Agus Rofiudin mengatakan pentingnya perdagangan antara negara dan FDI.
Menurutnya, dua hal tersebut merupakan instrumen untuk pertumbuhan ekonomi dan memungkikan pula suatu negara mengkonsumsi jasa yang lebih murah berdasarkan keunggulan komparatifya.
“Perdagangan memungkinkan suatu negara mengkonsumsi barang dan jasa yang lebih murah dari negara lain berdasarkan keunggulan komparatifnya. Sementara FDI mendorong transfer teknologi serta modal manusia dan perbaikan kelembagaan dari negara maju ke negara berkembang,” kata Agus Rofiudin.
Menurutnya, kondisi tersebut berpotensi pada biaya logistik yang rendah, waktu transportasi semakin singkat, dan penambahan peluang kerja (dunia bisnis tumbuh).
“Efisiensi waktu pengiriman mendorong produktifitas dunia usaha yang berpengaruh positif pada daya saing nasional. Alhasil, kombinasi produktifitas dan daya saing, mendorong tumbuhnya perekonomian,” tambah Agus.
Dorongan APBN untuk Kelancaran Logistik
Rancangan APBN 2024 telah resmi disahkan melalui Pembicaraan Tingkat II (Paripurna) pada September 2023. Pada kesempatan itu, APBN tahun 2024 disepakati salah satunya yaitu harus menjadi instrumen kebijakan yang dapat diandalkan menghadapi gejolak ekonomi pada tahun 2024.
Agus juga melihat adanya tensi Geopolitik yang mereda dan bisa menyebabkan fragmentasi serta mempersempit antarnegara terutama perdagangan.
World Trade Organization [WTO] dalam Global Trade Outlook-nya, memprediksi volume perdagangan dunia tahun 2023 hanya tumbuh 1,7% dan picking up pada 2024 sebesar 3,2%.
Lebih lanjut, pemerintah telah menyusun APBN tahun 2024 dengan asumsi makro, seperti pertumbuhan ekonomi yang 5,2%, inflasi sebesar 2,8%; hingga nilai tukar rupiah sebesar Rp15.000 per dolar AS.
Dari total belanja negara yang Rp3.325,1 triliun, dialokasikan Rp2.467,5 triliun untuk Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah sebesar Rp857,6 triliun. Adapun, belanja Pemerintah Pusat dimaksimalkan untuk menguatkan APBN sebagai fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
APBN 2024 disusun agar mampu menghadapi tantangan-tantangan yang tidak mudah. Pemerintah memperkirakan bahwa tahun 2024 nanti APBN akan berhadapan dengan situasi geopolitik yang belum jelas ujungnya, perubahan iklim, kekhawatiran pandemik, dan digitalisasi. Menjawab tantangan digitalisasi, pemerintah telah menyiapkan langkah antisipasinya.
Kinerja ekonomi nasional didorong oleh leading sectors, seperti Industri, Perdagangan, Pertanian, Pertambangan, hingga Konstruksi. Lapangan usaha industri, tercatat masih memberikan kontribusi terbesar dibandingkan lapangan usaha lainnya.
“Dalam kondisi itu inline dengan komposisi impor nasional yang masih didominasi bahan baku penolong. Alhasil, proses logistik berupa kelancaran pasokan bahan baku maupun hasil produksinya harus maksimal,” tambah Agus.
Kinerja logistik nasional memang belum ideal hingga saat ini. World Bank (WB) pada Logistics Performance Index (LPI) 2023, menempatkan kinerja logistik Indonesia di peringkat 63 dengan nilai 3.0. Biaya logistik nasional pun masih tergolong tinggi, yaitu 14,29 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Belanja infrastruktur pada APBN 2024 mencapai Rp422,7 triliun. Arah kebijakan infrastruktur di antaranya adalah untuk untuk mempercepat pembangunan infrastruktur penggerak ekonomi (konektivitas dan transportasi, energi dan ketenagalistrikan, dan pangan).
Selain itu, pemerintah juga fokus untuk penyediaan infrastruktur pelayanan dasar dan proyek-proyek strategis, serta pemerataan dan penguatan akses TIK yang mendukung transformasi digital.
Penguatan konektivitas dan transportasi serta infrastruktur TIK, erat kaitannya dengan kinerja logistik. Pembangunan jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan diperkuat dengan penyediaan titik akses internet hingga Digital Broadcasting System (DBS).
Pembangunan infrastruktur tersebut dapat dimaksimalkan dengan pelaksanaan National Logistics Ecosystem (NLE).
NLE Memaksimalkan Fungsi APBN
NLE merupakan salah satu langkah strategis pemerintah menghadapi tantangan kinerja logistik sebagaimana Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2020.
Agus melihat NLE merupakan sebuah platform digital layanan logistik hulu ke hilir, dengan kolaborasi Kementerian/Lembaga (K/L), perusahaan terkait, serta pelaku logistik.
“Kolaborasi digital dalam satu platform [NLE], akan memastikan kelancaran pergerakan arus barang ekspor dan impor, maupun pergerakan arus barang domestik, baik antardaerah dalam satu pulau, maupun antar pulau,” ucapnya.
NLE menyederhanaan proses bisnis layanan pemerintah di bidang logistik, mengolaborasi sistem layanan logistik swasta baik domestik maupun internasional, memudahkan transaksi pembayaran penerimaan negara dan fasilitasi pembayaran antar pelaku usaha logistik, dan penataan tata ruang kepelabuhan dan jalur distribusi barang.
Kondisi tersebut dimungkinkan dengan konsep dasar NLE yang terdiri 4 pilar, yaitu:
- Simplifikasi proses bisnis layanan pemerintah dan swasta.
- Kolaborasi platform logistik.
- Kemudahan pembayaran, dengan skema single billing.
- Penataan tata ruang, dengan penerapan kebijakan yang membuat pergerakan barang lebih efisien.
Terobosan NLE berupa layanan Sistem Pelayanan Online Satu Pintu alias Single Submission (SSm), yang terus dikembangkan oleh Lembaga National Single Window (LNSW).
Layanan seperti SSm Pengangkut, SSm Perizinan, dan Single Submission Quarantine Customs (SSm QC/SSm Pabean Karantina) berhasil memangkas tahapan proses bisnis, mengurangi proses repetisi dan duplikasi dengan satu kali submission, serta mempermudah pengurusan layanan logistik pemerintahan.
Agus mengungkapkan ada sekitar 15 kementerian ataupun Lembaga yang mempermudah pelaku usaha dengan tidak perlu lagi ke masing-masing K/L untuk menanyakan regulasi, proses, dan persyaratan kemudahan berbisnis.
“Tujuan pembangunan NLE adalah agar proses melakukan bisnis di Indonesia semakin kompetitif, baik dari segi waktu, simplifikasi, kecepatan, dan pada akhirnya dari segi biaya,” tambahnya.
Menteri Keuangan pun menegaskan kepada Tim NLE yang merupakan kolaborasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Lembaga National Single Window (LNSW) agar terus mengelola NLE dengan tetap menjaga fasilitas yang ada untuk industri dan perdagangan.
NLE merupakan tanggung jawab seluruh pihak dan entitas logistik. Implementasi NLE seharusnya tidak hanya berfokus pada output, tetapi juga menghasilkan outcome yang positif bagi masyarakat.
Alhasil, implementasi NLE dapat mendorong inovasi dan koordinasi untuk meningkatkan kinerja logistik dengan dukungan APBN 2024 sehingga berkontribusi maksimal pada perekonomian nasional.