Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Berharap BI Tak Lagi Naikkan Suku Bunga Acuan

Apindo menyebut penerapan kebijakan suku bunga tinggi oleh Bank Indonesia (BI) dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan beban bagi pengusaha.
Kantor Bank Indonesia/Reuters-Darren Whiteside
Kantor Bank Indonesia/Reuters-Darren Whiteside

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai penerapan kebijakan suku bunga tinggi oleh Bank Indonesia (BI) dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan beban bagi pengusaha. 

Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan, bila BI mempertahankan suku bunga acuan di level tinggi, beban overhead usaha diproyeksi bakal naik lebih tinggi. Kendati begitu, pelaku usaha dapat memaklumi kebijakan tersebut.

“Kami memahami bahwa tekanan eksternal yang dialami Indonesia saat ini tidak memungkinkan BI untuk mempertahankan suku bunga di level 5,75% dan mempertahankan stabilitas makro, khususnya nilai tukar, pada saat yang bersamaan,” kata Shinta kepada Bisnis, Senin (23/10/2023).

Di samping itu, Shinta menghormati dan mendukung keputusan BI untuk menaikkan suku bunga acuan ke 6% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode 18-19 Oktober 2023. Kenaikan ini merupakan yang pertama sejak BI menaikkan suku bunga ke level 5.75% pada Januari 2023. 

Gubernur BI Perry Warjiyo kala itu menyebut, keputusan BI menaikkan suku bunga acuan adalah untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global, dan sebagai langkah preemptive dan forward looking memitigasi dampaknya ke imported inflation.

Shinta berharap dengan kenaikan suku bunga ini, BI dan kementerian terkait dapat menciptakan stabilitas dan penguatan nilai tukar rupiah dalam waktu dekat. Tujuannya, agar kenaikan beban usaha dapat lebih terkendali atau bahkan berhenti sepenuhnya.

Pemilik Sintesa Group ini juga mengingatkan agar kenaikan suku bunga tersebut disertai dengan peningkatan efektivitas policy mix Indonesia dalam menciptakan penguatan nilai tukar. 

“Sehingga ke depannya kenaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar tidak terus-menerus terjadi dan semakin membebani pelaku usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.

Para pengusaha juga berharap agar instrumen kenaikan suku bunga dijadikan instrumen ‘last resort’ untuk menciptakan stabilitas dan penguatan nilai tukar. Untuk itu, instrumen kebijakan dan intervensi moneter lain yang dimiliki bank sentral dan pemerintah untuk mengendalikan nilai tukar harus ditingkatkan.

Di sisi lain, pelemahan rupiah yang terjadi dalam 3 bulan terakhir diakui Shinta sangat mengganggu para pelaku usaha khususnya dalam bentuk penggelembungan overhead cost usaha. Hal ini kata dia menyebabkan pertumbuhan produktivitas dan daya saing ekspor menurun.

Beberapa pelaku usaha bahkan terpaksa mengerek naik harga jual di pasar lantaran kenaikan overhead cost yang dipicu oleh efek pelemahan nilai tukar terhadap beban impor bahan baku atau penolong dan barang modal.

“Karena itu sangat penting bagi kami agar pelemahan nilai tukar bisa segera dihentikan atau rupiah bisa kembali menguat dalam waktu dekat secara sustainable, meskipun harus dilakukan dengan cara menaikkan suku bunga acuan,” tuturnya.

Diberitakan sebelumnya, Bank Indonesia mengingatkan risiko tingkat suku bunga global yang bertahan pada level yang tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama atau yang disebut dengan fenomena higher for longer.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung menyampaikan bahwa terjadinya fenomena tersebut disebabkan oleh volatilitas ekonomi global yang semakin meningkat, terutama karena adanya tensi geopolitik di Timur Tengah.

Berbagai risiko tersebut, kata Juda, telah direspons oleh BI dengan menaikkan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur terakhir, sebesar 25 basis poin menjadi 6%. Pasalnya, gejolak di global telah merembet ke pasar keuangan domestik, memberikan tekanan pada arus modal dan pelemahan nilai tukar rupiah.

Adapun, kebijakan BI akan tetap diarahkan untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan, tapi dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

“Kebijakan moneter tetap diarahkan pro-stability, untuk mengendalikan inflasi dan dalam menghadapi gejolak eksternal,” kata Juda dalam acara Peluncuran Buku KSK No. 41, Senin (23/10/2023).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper