Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan lalu.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung menyampaikan bahwa keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan upaya BI dalam mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Kenaikan suku bunga ini dipandang perlu untuk menahan dampak dari tingginya ketidakpastian global terhadap stabilitas, baik makro ekonomi maupun sistem keuangan, di dalam negeri.
“Ini yang menjadi dasar bagi kami dalam RDG terakhir, kami menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 25 bps menjadi 6%, tujuannya memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar,” katanya dalam acara Peluncuran Buku KSK No. 41, Senin (23/10/2023).
Juda menjelaskan, selama ini BI terus melakukan upaya menjaga stabilitas rupiah dengan melakukan intervensi di pasar.
Sebagai informasi, nilai tukar rupiah hari ini, Senin (23/10/2023) akan berfluktuasi namun akan ditutup melemah akibat fluktuasi di pasar keuangan global termasuk dolar AS setelah eskalasi perang Israel vs Hamas yang meluas.
Baca Juga
Pada perdagangan pekan kemarin, Jumat (20/10) rupiah ditutup melemah tembus ke Rp15.872 atau terkoreksi 0,36% dari posisinya pada awal pembukaan Rp15.845 per dolar AS. Sementara indeks mata uang negeri Paman Sam semakin perkasa setelah menguat 0,09% ke level 106,35.
Namun demikian, dengan mempertimbangkan perkembangan beberapa pekan terakhir, terutama dengan kenaikan yield US Treasury yang cepat, yang telah memberikan tekanan pada pasar keuangan global, BI menilai tingkat suku bunga acuan perlu dinaikkan.
Volatilitas global yang meningkat pada akhir-akhir ini, terutama dipicu oleh konflik Israel dan Palestina, yang menyebabkan meningkatnya laju inflasi, terutama pada harga energi dan pangan.
Akibatnya, negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Eropa harus merespons dengan kebijakan moneter yang kemudian mendorong tetap tingginya suku bunga di kawasan tersebut
Selain itu, AS saat ini juga membutuhkan pembiayaan, termasuk pembiayaan politik dan keamanan, terkait dengan situasi geopolitik di Rusia-Ukraina dan di Timur Tengah. Akibatnya, yield US Treasury akan terkerek naik.
Kondisi ini, kata Juda, akan berimplikasi pada ekonomi domestik. Tercermin dari volatilitas arus modal di dalam negeri dalam 1-2 bulan terakhir, yang juga berdampak pada pelemahan nilai tukar secara global, termasuk rupiah.
“Dengan kenaikan yield di AS yang begitu cepat, strong dollar yang begitu cepat, kita harus tambah amunisinya, yaitu dengan suku bunga kebijakan,” kata dia.