Bisnis.com, JAKARTA – Pengaturan barang impor menjadi isu hangat karena banyaknya desakan untuk mengatur perdagangan luar negeri tersebut yang berdampak pada produk UMKM Indonesia.
Pasalnya, barang impor tersebut menggerus UMKM yang kalah saing dengan produk impor yang memiliki harga jauh lebih murah.
Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo memaparkan data bahwa Indonesia telah banjir impor yang cukup signifikan.
Dalam data paparannya, terlihat adanya peningkatan barang kiriman impor yang signifikan sejak 2017 dengan 6,1 juta dokumen barang kiriman (Consignment Notes/CN), naik lebih dari 3 kali lipat menjadi 19,6 juta pada 2018.
“Bahkan 2019 terjadi peningkatan yang cukup tinggi dengan 71,5 juta dan cenderung stabil hingga 2022 dengan rata-rata 61 juta barang. Luar biasa!” tulisnya dalam @prastow, dikutip Minggu (22/10/2023).
Adapun, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 96/2023 atas perubahan PMK 199/2019 ini dilatarbelakangi oleh semakin pesatnya perkembangan bisnis yang tercermin dari lonjakan pengiriman barang impor melalui penyelenggara pos/ekspedisi tersebut.
Baca Juga
Hal ini pun perlu diimbangi dengan prosedur pelayanan dan pengawasan yang lebih baik, dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Poin dalam PMK tersebut, antara lain, kewajiban kemitraan PPMSE dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) melalui pertukaran data e-catalogue dan e-invoice.
Selain itu, juga terdapat penambahan komoditas yang dikenakan tarif pembebanan umum atau Most Favoured Nation (MFN).
Pemerintah menetapkan tarif bea masuk MFN untuk delapan komoditas, yakni tas (15-20%), buku (0%), produk tekstil (5-25%), alas kaki/sepatu (5-30%), kosmetik (10-15%), besi dan baja (0-20%), sepeda (25-40%), dan jam tangan (10%).