Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Kerek Suku Bunga Acuan, Pengusaha Berharap Rupiah Dapat Menguat

Pengusaha memandang kenaikan suku bunga acuan BI menjadi 6% seharusnya dapat segera menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Kantor Bank Indonesia/Reuters-Darren Whiteside
Kantor Bank Indonesia/Reuters-Darren Whiteside

Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pebisnis berharap kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 6% dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5%.

Ketua Komite Tetap Kebijakan Publik, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Chandra Wahjudi mengatakan, kenaikan suku bunga acuan menjadi 6% sebenarnya bukan sesuatu yang diharapkan di tengah kondisi ekonomi global yang tengah lesu. Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan dikhawatirkan bakal memberikan beban tambahan terhadap kegiatan usaha.

"Di sisi lain, kami juga memahami kenaikan suku bunga juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," ujar Chandra kepada Bisnis, dikutip Minggu (22/10/2023).

Oleh karena itu, kata Chandra, pengusaha memandang kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 25 bps menjadi 6% seharusnya dapat segera menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sebaliknya, apabila nilai tukar rupiah terus melemah justru akan berisiko menyumbang inflasi.

Musababnya, nilai rupiah yang anjlok bakal menambah overhead cost pelaku usaha. Terutama usaha di sektor yang masih mengandalkan impor untuk bahan baku produksinya.

Pada Jumat (20/10/2023) atau sehari setelah suku bunga BI ditetapkan menjadi 6%, nilai tukar rupiah masih ditutup melemah 85 poin menjadi Rp15.815 per US$.

"Terpaksa [pelaku usaha] harus membuat penyesuaian harga jual. Ini berisiko menyumbang inflasi," ucapnya.

Chandra memandang apabila nilai tukar rupiah bisa terus bangkit usai kenaikan suku bunga acuan, maka harga-harga dapat terkendali dan daya beli masyarakat bisa tetap terjaga. Begitupun dengan lonjakan inflasi dapat dihindari.

"Kami sangat berharap dengan adanya kenaikan suku bunga acuan tersebut pertumbuhan ekonomi nasional masih diatas 5%," kata Chandra.

Berdasarkan catatan Bisnis, Kamis (19/10/2023), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan kuatnya dolar AS menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara lain, termasuk nilai tukar rupiah.

Dibandingkan dengan akhir 2022, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi di level 106,21 atau menguat 2,6% (ytd).

Dolar AS yang mendominasi telah membuat mata uang hampir di seluruh dunia terdepresiasi secara year-to-date (ytd), seperti yen Jepang melemah 12,44%; dolar Australia melemah 6,61%; euro melemah 1,4%; ringgit Malaysia melemah 7,23%; baht Thailand melemah 4,64%; dan peso Filipina melemah 1,73%.

"Dalam periode yang sama, dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terdepresiasi 1,03% [ytd], relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut," ujar Perry.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper