Bisnis.com, JAKARTA — Konsensus ekonom memperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) akan ditahan pada tingkat 5,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (19/10/2023).
Berdasarkan data yang dihimpun dari Bloomberg, sebanyak 30 ekonom memperkirakan BI akan kembali menahan tingkat suku bunga acuan di level 5,75% pada Oktober 2023.
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz menyampaikan bahwa tekanan terhadap nilai tukar rupiah saat ini membuka ruang bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan.
Hal ini juga menimbang The Fed, bank sentral Amerika Serikat (AS), yang semakin tak pasti dalam menentukan arah bunga acuannya, serta likuiditas global yang menurun.
Namun demikian, dia memperkirakan suku bunga acuan akan tetap dijaga pada tingkat 5,75 persen bulan ini.
“Kami melihat BI masih akan menjaga bunga acuan sebagaimana sinyal BI sejauh ini,” katanya kepada Bisnis, Selasa (17/10/2023).
Baca Juga
Jika suku bunga acuan tidak dinaikkan, Faiz memandang bahwa BI perlu melakukan mitigasi, misalnya dengan menyiapkan intsrumen atau penguatan kebijakan yang mendukung stabilitas rupiah.
“Jika bunga acuan tidak naik, kemungkinan ada instrumen lain yang diterbitkan atau dimodifikasi untuk menarik arus modal asing,” katanya.
Senada, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan BI masih akan mempertahakan tingkat suku bunga acuan 5,75 persen bulan ini, juga di sisa 2023.
“Namun, yang akan berbeda adalah penekanan BI untuk lebih menstabilkan nilai tukar rupiah dan bagaimana BI mengantisipasi dan memitigasi jika the Fed terus bersikap lebih hawkish di masa depan,” katanya.
Josua berpendapat risiko moneter mendatang akan datang dari dalam dan luar negeri. Dari sisi eksternal, suku bunga global diperkirakan bertahan pada level yang tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama atau higher for longer, juga arah kebijakan The Fed yang cenderung lebih hawkish pada 2024.
Kondisi ini terkait juga dengan dampak el nino terhadap harga pangan global, dan risiko konflik Hamas-Israel yang terus mendorong kenaikan harga minyak dunia di tengah keputusan OPEC+ untuk memangkas produksi minyak.
Sementara di dalam negeri, Josua mengatakan ada risiko inflasi, terutama pada harga pangan sebagai dampak dari el nino. Namun, risiko tersebut dipandang cenderung terkendali.
Menurutnya, risiko utama akan datang dari melebarnya defisit neraca transaksi berjalan seiring dengan risiko perlambatan ekonomi global pada 2024. Situasi ini, bersamaan dengan risiko skenario higher for longer dinilai masih dapat memicu sentimen risk-off.
“Tentunya hal ini akan berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah dan meningkatkan risiko imported inflation,” jelas Josua.
Dia menilai, upaya untuk menjaga nilai tukar rupiah masih perlu dibarengi dengan efektivitas kebijakan lain, seperti devisa hasil ekspor dan kebijakan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Namun, efekktivitas dari kebijakan tersebut baru dapat dirasakan sekitar setelah 3 bulan.
“Kami memandang kebijakan moneter ke depan akan diarahkan untuk mempercepat efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut, dan BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level saat ini,” katanya.
Ruang Kenaikan 25 Basis Poin
Di sisi lain, Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro memandang BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6% pada RDG bulan ini.
“BI rate harus naik karena kondisi ketatnya likuiditas domestik. Kalau kondisi likuiditas domesik ketat, itu merupakan kewajiban bank sentral untuk menaikkan suku bunga, untuk menarik arus modal dari luar,” katanya.
Satria menjelaskan, BI dalam 8 bulan terakhir telah melakukan intervensi pasar valas secara terus menerus ketimbang menaikkan suku bunga acuan, untuk mendukung rupiah terhadap penyempitan spread suku bunga.
Meski demikian, dia mengatakan, intervensi valas sebenarnya merupakan kebijakan moneter kontraktif permanen, karena BI memasok dolar AS dengan menguras likuiditas rupiah.
Kondisi ini tercermin dari cadangan devisa yang turun US$10 miliar dalam 6 bulan terakhir, yang artinya BI telah menyerap Rp150 triliun likuiditas mata uang rupiah dari perbankan domestik.
Dia mengatakan, di masa lalu, BI menetralisir dampak negatif dari intervensi valas dengan membeli obligasi di pasar sekunder, sehingga mengembalikan sebagian likuiditas rupiah.
Namun, saat ini BI mengurangi likuiditas rupiah lebih lanjut dengan melelang Serkuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) ke perbankan dan menjual obligasi di pasar sekunder melalui Twist Operation.
Tercatat, BI telah menjual Rp98,7 triliun SRBI dalam lelang, sementara kepemilikan SBN oleh BI telah menurun sebesar Rp92,9 triliun.
Di sisi lain, imbuhnya, likuditas dolar AS saat ini menurun tidak hanya karena pengetatan agresif yang dilakukan The Fed, tetapi juga karena defisit neraca transaksi berjalan dan neraca finansial Indonesia.
“Pilihan BI yang terus berlanjut untuk mengintervensi valas daripada menaikkan suku bunga menempatkan ekonomi pada risiko mengalami ‘twin liquidity deficits’ yang disebabkan oleh kontraksi dalam jumlah uang beredar, baik dolar AS maupun rupiah,” jelasnya.
Menurutnya, BI pun memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 50 bps. Dia menilai, opsi kenaikan suku bunga tidak akan memberikan dampak negatif yang besar pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, perekonomian Indonesia ditopang oleh sisi fiskal, sehingga dia optimistis perekonomian dengan rasio kredit terhadap PDB yang sebesar 41% seharusnya cukup menahan dampak dari pengetatan moneter BI.
“Sebenarnya jika diberikan pilihan, kebijakan mana yang bersifat lebih bisa menekan pertumbuhan ekonomi, jangan-jangan jika menaikkan suku bunga 25-50 bps, kondisi ekonomi kita lebih tahan dibandingkan dengan likuiditas lebih dari Rp200 triliun diserap melalui oeprasi moneter melalui intervensi, penjualan SRBI, dan penjualan SBN yang dimiliki BI,” tuturnya.
Konsensus Ekonom Bloomberg soal BI Rate
Economist |
Firm |
Estimate |
|
1 |
Tamara Mast Henderson |
Bloomberg LP |
5,75 |
2 |
Mika Martumpal |
Bank Cimb Niaga Tbk PT |
5,75 |
3 |
Rully Arya Wisnubroto |
Pt Mirae Asset Sekuritas Indonesia |
5,75 |
4 |
David E Sumual |
Bank Central Asia Tbk PT |
5,75 |
5 |
Eddie Cheung |
Credit Agricole CIB Hong Kong Branch |
5,75 |
6 |
Wisnu Wardana |
Bank Danamon PT |
5,75 |
7 |
Radhika Rao |
DBS Bank Ltd |
5,75 |
8 |
Aldian Taloputra |
Standard Chartered Bank |
5,75 |
9 |
Bank Mandiri Persero Tbk PT |
5,75 |
|
10 |
Krystal Tan |
Australia & New Zealand Banking Grp. |
5,75 |
11 |
Helmi Arman |
Citigroup Securities Indonesia |
5,75 |
12 |
Mohamed Faiz Nagutha |
Bank of America NA |
5,75 |
13 |
Fikri C Permana |
KB Valbury Sekuritas |
5,75 |
14 |
Josua Pardede |
PT Bank Permata Tbk |
5,75 |
15 |
Euben Paracuelles |
Nomura Singapore Limited |
5,75 |
16 |
Lavanya Venkateswaran |
Oversea-Chinese Banking Corp Limited |
5,75 |
17 |
Alex Loo |
The Toronto-Dominion Bank |
5,75 |
18 |
Brian Tan |
Barclays Bank PLC |
5,75 |
19 |
Miguel Chanco |
Pantheon Macroeconomics Ltd |
5,75 |
20 |
Lionel Priyadi |
PT Samuel Sekuritas Indonesia |
5,75 |
21 |
Helmy Kristanto |
Danareksa Securities PT/Jakarta |
5,75 |
22 |
Juniman Juniman |
PT Bank Maybank Indonesia Tbk |
5,75 |
23 |
Goldman Sachs & Co LLC |
5,75 |
|
24 |
Pranjul Bhandari |
HK and SH Banking Corp Ltd SP BR |
5,75 |
25 |
Sin Beng Ong |
JP Morgan Chase Bank NA |
5,75 |
26 |
Gareth Leather |
Capital Economics Ltd |
5,75 |
27 |
BNP Paribas SA |
5,75 |
|
28 |
Societe Generale SA |
5,75 |
|
29 |
Jeemin Bang |
Moodys Analytics Singapore Pte Ltd |
5,75 |
30 |
Scotiabank UK Ltd |
5,75 |
|
31 |
Satria Sambijantoro |
PT Bahana Sekuritas |
6 |
Sumber: Bloomberg, diolah