Bisnis.com, JAKARTA – Konflik Israel dan Palestina dinilai akan memberikan dampak bagi pasar keuangan, termasuk Indonesia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa dampak dari konflik Israel dan Palestina akan memicu investor beralih ke aset yang aman. Kondisi ini akan memicu penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dalam jangka pendek.
Akibatnya, nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan mengalami tekanan dan melanjutkan depresiasi terhadap dollar AS. Hal ini memicu harga harga barang impor yang semakin mahal, khususnya komoditas pangan
“Contohnya beras, meskipun ada negara yang siap menjual ke Indonesia, tapi biaya impor beras dipengaruhi oleh dolar AS sehingga beras impor harganya naik,” katanya kepada Bisnis, Senin (9/10/2023).
Selain itu, impor bahan bakar minyak (BBM) akan lebih mahal. Ini mengakibatkan alokasi subsidi energi meningkat atau kenaikan harga tersebut akan diteruskan ke masyarakat.
“Inflasi menjadi ancaman serius bagi daya beli domestik. Dampak lain adalah ketidakpastian bonanza komoditas apakah akan terus berlanjut,” jelas Bhima.
Baca Juga
Dia memperkirakan, konflik di Timur Tengah yang memanas berpotensi menaikkan harga minyak mentah hingga US$90-US$92 per barel, dibandingkan dengan harga saat ini US$83 per barel di pasar spot.
Meski demikian, menurutnya, kenaikan harga minyak saat ini diperkirakan belum mampu menandingi harga saat krisis minyak mentah 1973 yang saat itu menembus rekor kenaikan tertinggi dari US$2 per barel menjadi US$11 per barel atau naik 450 persen
Hal ini dipicu oleh relaksasi pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global. Selain itu, pemangkasan produksi minyak yang belum jelas dan masih akan dibahas pada pertemuan Arab Saudi dan Rusia pada November mendatang
Di sisi lain, Bhima menambahkan, dolar AS yang menguat menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak karena kekhawatiran banyak negara importir minyak mengurangi permintaan impor karena selisih kurs.
China sebagai negara konsumen energi yang besar pun tengah mengalami perlambatan ekonomi yang diperkirakan berlangsung hingga 2024 mendatang. “Industri di China tidak sedang ekspansi, sehingga mempengaruhi demand minyak global”.