Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melanjutkan tren pelemahan pada hari ini, Senin (9/10/2023).
Berdasarkan catatan Bisnis, Rupiah ditutup melemah 0,51 persen atau 79,50 poin ke level Rp15.692 per dolar pada akhir perdagangan hari ini. Di sisi lain, indeks dolar AS melejit 0,50 persen atau 0,53 poin ke 106,57.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan rupiah akan mencapai titik terlemahnya pada Oktober-November 2023, sebelum rebound dan menguat.
Menurutnya, tekanan terhadap rupiah baru berpotensi mereda pada November mendatang, setelah ada kejelasan dari arah kebijakan suku bunga acuan Federal Reserve atau The Fed sudah memuncak dan terbukanya ruang pemangkasan pada 2024.
“Yang perlu diantisipasi adalah jika data-data ekonomi AS sampai akhir Oktober masih belum dapat meyakinkan The Fed untuk mengubah stance-nya menjadi tidak hawkish lagi. Jika ketidakpastian tersebut belum menghilang, kami melihat pasar keuangan cenderung masih akan berfluktuasi dan rupiah akan berada dalam tren pelemahan,” katanya, dikutip Senin (9/10/2023).
Lantas, sektor-sektor apa saja yang akan terdampak akibat melemahnya nilai tukar rupiah?
Baca Juga
Josua mengatakan pelemahan rupiah yang masih berlanjut akan berdampak negatif pada kinerja pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku impor, misalnya industri farmasi atau industri petrokimia.
Sektor-sektor diperkirakan terdampak yaitu sektor yang mengandalkan bahan baku impor seperti makanan dan minuman.
“Terutama yang banyak bahan baku impor seperti gandum, gula, dan kedelai, lalu sektor farmasi, elektronik dan barang elektrikal, serta tekstil,” jelasnya.
Terkait dampaknya terhadap industri, Josua mengatakan pelemahan rupiah juga berpotensi mendorong berlanjutnya tekanan inflasi pangan, terutama jika pemerintah mendorong impor pangan strategis.
“Hal ini jelas akan berdampak negatif pada daya beli dan tingkat permintaan masyarakat. Impor minyak juga akan lebih mahal, sehingga harga bahan bakar nonsubsidi akan meningkat pula yang juga berujung pada menurunnya daya beli dan tingkat permintaan masyarakat,” kata Josua.
Di sisi lain, imbuhnya, pelaku usaha yang bergantung pada ekspor justru berpeluang mendapatkan manfaat dari pelemahan rupiah, terutama bagi ekspor barang manufaktur.
Namun, menurut Josua, di tengah pelemahan ekonomi dunia, kemungkinan kinerja ekspor masih akan menghadapi tantangan yang cukup berat.
Dia menambahkan, untuk memitigasi depresiasi rupiah yang signifikan, BI perlu melakukan intervensi di pasar keuangan, agar stabilitas rupiah tetap terjaga di tengah sentimen yang memburuk.
Beberapa kebijakan yang dapat BI lakukan yaitu triple intervention dan mengoptimalkan beberapa instrumen, seperti penguatan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE) melalui implementasi Term Deposit (TD) Valas DHE BI.
Selain itu, BI juga harus mengoptimalkan penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen operasi terbuka untuk menarik investor asing sehingga mendorong terjaganya supply valas di domestik yang berikutnya akan menopang terjaganya stabilitas rupiah.
"Saya memperkirakan rupiah berpotensi menguat dan akan ditutup pada kisaran Rp15.300-Rp15.500 per dolar AS pada akhir 2023," imbuhnya.