Bisnis.com, JAKARTA - Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) menekankan aspek-aspek kebijakan penting terkait bahan bakar nabati atau biofuel untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero emmission).
Kepala Divisi Energi Terbarukan IEA Paolo Frank mengatakan ada enam aspek untuk keberhasilan kebijakan biofuel. Dalam skenario mengenai net zero emissions yang baru saja dipublikasikan dalam pembaruan terakhir, IEA melihat bahwa biofuel perlu tumbuh hampir tiga kali lipat pada 2030.
“Jadi dalam waktu kurang dari tujuh tahun, agar sejalan dengan [target] dunia menuju nol emisi,” jelasnya dalam paparan acara Sustainable Mobility: Ethanol Talks 2023 di St. Regis Jakarta, Senin (9/10/23).
Ia mengatakan bahwa hal ini bukan hanya mengenai masalah karakterisasi, namun juga menyangkut mengenai keamanan energi. Frank menekankan seberapa pentingnya biofuel bagi keamanan energi.
Kemudian, walaupun biofuel berkembang di seluruh dunia, hal ini masih dinilai belum cukup sehingga memerlukan peran kebijakan publik, pertukaran informasi dan berbagai praktik yang penting.
Menyambung hal tersebut, IEA kemudian memiliki studi singkat dalam membandingkan kebijakan di tiga negara terkemuka dalam bidang biofuel, yakin Amerika Serikat (AS), Brazil dan India. Dalam perbandingan tersebut, IEA kemudian menemukan enam aspek yang umum untuk keberhasilan kebijakan.
Baca Juga
Pertama, pengembangan dan mempertahankan strategi jangka panjang. Dalam hal ini IEA mengatakan bahwa Brasil merupakan salah satu contoh yang penting.
“Hal ini benar-benar menekankan bahwa kebijakan biofuel bukanlah sesuatu yang bersifat jangka pendek, namun harus kebijakan jangka panjang,” jelasnya dalam paparan tersebut.
Ia kemudian menyebutkan bahwa contoh kebijakan tersebut melibatkan ketahanan energi, ketahanan pangan dan kebutuhan investasi hingga teknologi, yang pada akhirnya dapat membawa ke rencana kerja untuk biofuel.
Kedua, adalah memberikan sinyal investasi yang tepat seiring berjalannya waktu. Hal ini berupa campuran dari penghargaan dan hukuman (carrot and stick) dengan memiliki paket mandat beserta insentif keuangan.
Ketiga, terus berinovasi sepanjang waktu. Terkadang, terdapat persepsi bahwa bioenergi bukanlah teknologi yang inovatif. Menurutnya, sektor ini memiliki potensi besar untuk inovasi teknologi, namun perlu didorong seperti oleh kebijakan yang tepat dalam teknologi baru, peningkatan efisiensi, produktivitas lahan.
Keempat, adalah memastikan pasokan energi aman dan terjangkau, dengan pemahaman yang mendalam mengenai ketersediaan bahan baku biomassa dari waktu ke waktu, menetapkan target yang tepat dan kebijakan yang fleksibel.
“Saya sangat tertarik dengan contoh dari Brasil dalam kebijakan komersialisasi dan program yang memungkinkan Anda mengetahui tidak akan ada masalah ketersediaan bahan baku pada tahun berikutnya,” ungkapnya.
Kelima, adalah menangani masalah keberlanjutan sesegera mungkin dalam dunia berkelanjutan. Pada saat yang bersamaan, sektor energi juga bertanggung jawab untuk memperhatikan keamanan pangan.
Ia juga mengatakan bahwa tidak boleh ada pilihan antara “makanan atau bahan bakar”, yang sebagaimana hal ini masih menjadi perdebatan di banyak tempat seluruh dunia. Menurutnya, antara kedua tersebut harus beriringan, yakni menjadi “makanan dan bahan bakar”.
Keenam, yakni berkolaborasi dengan komunitas internasional. Berbagi pengalaman juga dinilai sangat penting. Ia juga mengatakan bahwa saat ini 80 persen biofuel hanya diproduksi empat negara utama dan di wilayah dunia.
“Ada potensi besar di Afrika, Amerika Latin lainnya, dan negara-negara Asia. Hal ini dapat terwujud lewat kerjasama internasional,” jelasnya.