Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengungkapkan penyebab naiknya harga gula konsumsi di pasar yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir yang dekati Rp16.000 per kg.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menyampaikan, naiknya harga gula konsumsi di tingkat konsumen salah satunya karena penyesuaian harga pokok produksi (HPP) di tingkat Produsen sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional No. 17/2023.
“Salah satu penyebab kenaikan harga Gula Konsumsi di Tingkat Konsumen ialah penyesuaian Harga Pokok Produksi [HPP] di Tingkat Produsen,” kata Arief dalam keterangan resmi, Jumat (6/10/2023).
Saat ini, HPP di tingkat produsen ditetapkan menjadi Rp12.500 per kilogram dari sebelumnya Rp11.500 per kilogram. Penyesuaian harga gula konsumen juga terjadi di tingkat konsumen dari Rp 13.500 per kilogram menjadi Rp 14.500 per kilogram, dan Rp 15.500 per kilogram khusus wilayah 3TP (Terluar, Terdepan, Tertinggal, dan Perbatasan).
Arief mengatakan, penyesuaian harga gula menjadi salah satu upaya pemerintah dalam menjaga keseimbangan ekosistem pergulaan nasional, baik terkait dengan penyesuaian biaya produksi maupun sikap keberpihakan terhadap konsumen dan pelaku usaha. Upaya tersebut diharapkan dapat menciptakan pangan Indonesia yang kuat dan berdaulat.
Kondisi yang terjadi saat ini berbanding terbalik dengan kondisi dua bulan lalu. Kala itu pemerintah meminta seluruh pelaku usaha dan BUMN membeli gula petani minimal Rp12.500 per kilogram karena belum memasuki musim giling.
Baca Juga
“Musim giling itu tahun lalu harga gula Rp11.500, tahun lalunya lagi Rp10.500. Badan Pangan Nasional mendorong agar petani mendapatkan harga yang sesuai dengan perkembangan keekonomian,” ujarnya.
Berdasarkan Panel Harga Bapanas, Jumat (6/10/2023), harga gula konsumsi naik 0,52 persen menjadi Rp15.700 per kilogram. Harga tertinggi terjadi di Papua sebesar Rp19.350 per kilogram dan terendah terjadi di Jawa Timur sebesar Rp14.480 per kilogram.
Jika melihat beberapa tahun ke belakang, HPP gula kata Arief kerap berada di bawah biaya pokok produksi (BPP) yang dikeluarkan petani.
Pada 2013, sebelumnya didapati HPP gula konsumsi di tingkat produsen sebesar Rp 8.100 per kilogram, 2014 sebesar Rp 8.500 per kilogram, 2015 sebesar Rp 8.900 per kilogram, 2016 sebesar Rp 9.100 per kilogram, 2017 sebesar Rp 9.700 per kilogram, 2018 sebesar Rp 9.700 per kilogram, 2018 sebesar Rp 9.700 per kilogram, 2019 sebesar Rp 9.700 per kilogram, 2020 sebesar Rp 10.500 per kilogram, 2021 sebesar Rp 10.500 per kilogram, dan 2022 sebesar Rp 11.500 per kilogram.
Di sisi lain, Arief mendorong konsistensi para pelaku usaha pergulaan untuk bersama-sama membangun industri pergulaan nasional yang sehat.
Pada kondisi awal 2023, harga gula kala itu berada di posisi rendah sehingga pemerintah mendorong para pelaku usaha untuk menyerap hasil produksi petani dengan harga yang baik. Namun, harga gula malah terkerek naik usai proses penggilingan.
Arief berharap, para pelaku usaha bisa konsisten membangun kerja sama yang berkelanjutan bersama pemerintah dan stakeholders lainnya.
“Jadi mungkin kedepannya kami harus siapkan pendanaan yang kuat untuk membeli pada saat panen tebu sampai dengan musim giling berakhir, sehingga produk petani itu dibeli dengan harga yang bagus,” jelasnya.
Untuk itu, pemerintah berencana memperkuat peran BUMN sebagai offtaker bagi petani, khususnya pada saat musim giling guna memenuhi Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo.
Lalu saat berakhir musim giling, stok akan dilepas untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga. Di sisi lain peningkatan produksi tebu menjadi faktor kunci menjaga ketersediaan gula nasional.
“Kemarin ID Food juga sudah mendapatkan pinjaman dana murah satu setengah triliun subsidi bunga dari Kementerian Keuangan untuk penguatan cadangan pangan pemerintah. Ini akan mulai dari gula, daging sapi, hingga minyak goreng. Jadi harga itu kita harapkan tidak akan naik turun karena kita punya cadangan pangan,” ungkapnya.