Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berharap agar pengganti perusahaan pelat merah asal Rusia, Zarubezhneft sebagai mitra Premier Oil Tuna BV (Harbour Energy Group) di Blok Tuna segera ditentukan.
Anak usaha Zarubezhneft, ZN Asia Ltd, dipastikan mundur dari blok kaya gas di lepas pantai Natuna Timur itu seiring adanya sanksi dari negara-negara Barat yang menghambat keberlanjutan pengembangan proyek.
Direktur Jenderal (Dirjen) Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan bahwa sudah ada calon investor yang berminat menjadi mitra Harbour.
“Sudah buka data, akan dievaluasi, sudah prosesnya tapi belum ditentukan siapa,” kata Tutuka saat ditemui di Jakarta, Selasa (3/9/2023).
Tutuka menuturkan, kebutuhan pengganti ZN di Blok Tuna cukup mendesak karena untuk mengembangkan blok migas tersebut, Harbour tidak bisa terlalu lama membiayai sendiri.
“Ya, kalau berlangsung berlarut-larut bisa [menggangu], makanya kita minta selesaikan secepatnya, kita inisiatif supaya cepet selesai,” ujarnya.
Baca Juga
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut dua perusahaan migas global tertarik masuk ke Blok Tuna untuk menggantikan Zarubezhneft. Dua perusahaan tersebut adalah Petronas dari Malaysia dan Mudabala Energy dari Uni Emirat Arab.
“Ya, saya kira Petronas tertarik, Mubadala tertarik, ya kita lihat,” ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto saat ditemui di Kementerian ESDM, Senin (4/9/2023).
Adapun, Blok Tuna diperkirakan memiliki potensi gas di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMscfd).
Investasi pengembangan lapangan hingga tahap operasional ditaksir mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun.
Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri atas investasi (di luar sunk cost) sebesar US$1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$2,02 miliar, dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar US$147,59 juta.