Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut sudah ada beberapa kandidat investor untuk menggantikan posisi perusahaan pelat merah asal Rusia, Zarubezhneft di Blok Tuna.
Zarubezhneft dipastikan mundur dari blok kaya gas di lepas pantai Natuna Timur itu seiring adanya sanksi dari negara-negara Barat yang menghambat keberlanjutan pengembangan proyek.
Zarubezhneft lewat anak usahanya, ZN Asia Ltd memegang 50 persen hak partisipasi Blok Tuna. BUMN Rusia itu bermitra dengan Premier Oil Tuna BV (Harbour Energy Group), perusahaan migas asal Inggris, yang bertindak sebagai operator dengan hak partisipasi 50 persen.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengungkapkan bahwa kandidat pengganti Zarubezhneft tersebut merupakan investor global.
“Ya [kandidat] kelas dunia. Bukan kelas lokal, lah. Ini baru buka data,” kata Tutuka di kompleks DPR, Senayan, Selasa (29/8/2023).
Tutuka menyebut bahwa saat ini pihaknya masih melihat kandidat mana yang cocok untuk menggantikan perusahaan Rusia tersebut di Blok Tuna.
Baca Juga
“Nanti dari sini sebulan ada siapa yang tertarik baru kita inikan,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf mengatakan, sanksi finansial yang dikenakan Inggris, Uni Eropa, dan Amerika Serikat sebagai tanggapan atas invasi Rusia di Ukraina, membuat Harbour tidak dapat melakukan transaksi maupun bermitra dengan perusahaan Rusia. Oleh karena itu, Zarubezhneft terpaksa harus mundur agar proyek dapat berjalan.
“Harbour punya call dalam hal ini untuk memilih [calon pengganti], tetapi Zarubezhneft yang bertransaksi untuk divestasinya begitu, kita doakan saja untuk segera selesai karena PoD-nya sudah ada tinggal dieksekusi saja,” kata Nanang di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Adapun, Blok Tuna diperkirakan memiliki potensi gas di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMscfd).
Investasi pengembangan lapangan hingga tahap operasional ditaksir mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun.
Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri atas investasi (di luar sunk cost) sebesar US$1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$2,02 miliar, dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar US$147,59 juta.
Untuk mendorong keekonomian, pemerintah memberikan beberapa insentif dengan asumsi masa produksi sampai 2035 mendatang.
Pemerintah mengambil bagian gross revenue sebesar US$1,24 miliar atau setara dengan Rp18,4 triliun. Adapun, kontraktor gross revenue sebesar US$773 juta atau setara dengan Rp11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$3,315 miliar.
Rencananya hasil produksi gas dari Lapangan Tuna bakal diekspor ke Vietnam pada 2026 mendatang.