Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan migas Inggris Harbour Energy memproyeksikan keputusan akhir investasi atau final investment decision (FID) untuk pengembangan Blok Tuna, lepas pantai Natuna Timur, kemungkinan ditetapkan pada 2025.
Tenggat yang cukup jauh dari persetujuan rencana pengembangan atau plan of development (PoD) pertama lapangan yang sudah diberikan sejak 23 Desember 2022 itu disebabkan karena dampak sanksi Uni Eropa dan UK kepada mitra Rusia Harbour Energy di Blok Tuna, Zarubezhneft.
Lewat keterbukaan informasi, Harbour Energy memastikan tengah berdiskusi lebih lanjut bersama dengan Zarubezhneft dan pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi rencana pengembangan yang tersandera sanksi tersebut.
“Untuk mencapai solusi tapi tidak dapat mengantisipasi kalau FEED baru bisa dimulai tahun depan, artinya FID potensial baru bisa diputuskan 2025,” kata Harbour Energy dikutip Minggu (27/8/2023).
Blok kaya gas yang terletak di lepas pantai Natuna Timur itu dioperatori perusahaan migas asal Inggris Premier Oil Tuna BV (Harbour Energy Group) dengan hak partisipasi 50 persen. Zarubezhneft lewat anak usahanya, ZN Asia Ltd. ikut memegang 50 persen hak partisipasi Blok Tuna.
Kendati demikian, Chief Executive Officer Harbour Energy, Linda Z Cook mengatakan portofolio migas di Indonesia, termasuk Blok Tuna, menjadi prioritas investasi perusahaan di luar negeri.
Baca Juga
Seperti diketahui, Harbour Energy bersama mitra lainnya bakal melakukan pengeboran 4 sumur eksplorasi lanjutan di Laut Andaman, Oktober 2023. Komitmen itu menunjukan pentingnya aset migas di Indonesia bagi Harbour Energy.
“Kita melihat kemajuan dari kesempatan investasi strategis di luar UK seperti di Indonesia,” kata Chief Executive Officer Harbour Energy, Linda Z Cook lewat keterbukaan informasi dikutip Minggu (27/8/2023).
Sebelumnya, Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf, mengatakan sanksi finansial yang dikenakan Inggris, Uni Eropa, dan Amerika Serikat sebagai tanggapan atas invasi Rusia di Ukraina, membuat Harbour tidak dapat melakukan transaksi maupun bermitra dengan perusahaan Rusia. Oleh karena itu, Zarubezhneft terpaksa harus mundur agar proyek dapat berjalan.
“Harbour punya call dalam hal ini untuk memilih [calon pengganti], tetapi Zarubezhneft yang bertransaksi untuk divestasinya begitu, kita doakan saja untuk segera selesai karena PoD-nya sudah ada tinggal dieksekusi saja,” kata Nanang di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Adapun, Blok Tuna diperkirakan memiliki potensi gas di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMscfd).
Investasi pengembangan lapangan hingga tahap operasional ditaksir mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun.
Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri atas investasi (di luar sunk cost) sebesar US$1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$2,02 miliar, dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar US$147,59 juta.
Untuk mendorong keekonomian, pemerintah memberikan beberapa insentif dengan asumsi masa produksi sampai 2035 mendatang.
Pemerintah mengambil bagian gross revenue sebesar US$1,24 miliar atau setara dengan Rp18,4 triliun. Adapun, kontraktor gross revenue sebesar US$773 juta atau setara dengan Rp11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$3,315 miliar.
Rencananya hasil produksi gas dari Lapangan Tuna bakal diekspor ke Vietnam pada 2026 mendatang.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, belum memerinci berapa besaran volume gas yang akan diekspor. Namun, dia mengungkapkan bahwa potensi gas yang dihasilkan di Blok Tuna berkisar 100-150 million standard cubic feet per day (MMscfd).
“Potensinya di sana 100-150 MMscfd. Kami sih targetnya 2026 sudah bisa ekspor,” tutur Arifin saat berbincang dengan media di Kementerian ESDM, Jumat (23/12/2022).