Bisnis.com, JAKARTA - Dua tahun merger PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo telah memosisikan Indonesia memiliki operator terminal peti kemas terbesar ke-8 di dunia.
Namun, apakah skala arus bongkar muat barang bisa menjamin arah masa depan yang membawa nilai lebih untuk manusia, bisnis, dan lingkungan? Kini dengan pelabuhan dan hinterland (wilayah pendukung pelabuhan) dari Sabang sampai Merauke, Pelindo mungkin menjadi pemangku kepentingan keberlanjutan terbesar di pesisir Asia Tenggara.
Mampukah Pelindo menjaga keberlanjutan masa depan industri pelabuhan Indonesia dengan pendekatan lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environment, Social, and Governance/ESG)?
Sektor maritim Indonesia sangat beragam, mulai dari pelayaran, kepelabuhanan, galangan kapal, perikanan, pariwisata, hingga pemanfaatan berbagai Sumber Daya Alam. Segala anugerah tersebut berpotensi tinggi untuk menjadi baling-baling mesin pendorong perekonomian Indonesia selama dapat dikelola sesuai Prinsip ESG yang baik.
Namun, pelabuhan merupakan belanga kepentingan dari berbagai pemangku kepentingan yang menyebabkan kompleksitas relasi.
Penyelarasan pengelolaan pelabuhan yang mengakomodir harapan, tuntutan, dan kebutuhan pemangku kepentingan makin menantang, baik karena kurangnya cakupan regulasi, maupun akibat dari tumpang-tindihnya cakupan regulasi.
Baca Juga
Pelindo sebagai BUMN merupakan perpanjangan tangan negara yang sepatutnya mengelola potensi pelabuhan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pelindo berselancar di antara ombak harapan dan riak kebutuhan mulai dari kementerian, penegak hukum, pemerintah daerah, pengguna jasa, mitra kerja, elemen masyarakat, hingga komunitas akademika. Di sisi lain Pelindo harus meladeni dwifungsi: menjadi entitas usaha yang berkontribusi pada pendapatan negara dengan memberikan pelayanan prima, dan sebagai agen pembangunan negeri.
Indonesia memiliki jutaan kilometer persegi luas lautan, ratusan ribu kilometer panjang garis pantai, belasan ribu pulau, serta beragam biodiversitas lingkungan, potensi alam, dan budaya manusia yang tak terhitung jumlahnya. Tak mudah menyusun satu peta jalan (roadmap) yang holistik dan adaptif mengakomodir dinamisasi perkembangan maritim.
Sebenarnya sejumlah lembaga pemerintah, pendidikan/kajian, maupun entitas swasta, sudah merencanakan, merancang, menyempurnakan dan menerbitkan berbagai dokumen terkait peta jalan maritim negeri yang bertolak dari latar belakang dan lingkup kepentingan masing-masing.
Maka tantangannya bukanlah ketiadaan, tetapi terseraknya berbagai arahan. Setiap negara perlu fokus dalam menentukan visi maritim untuk menjadi ekosistem yang terintegrasi yang membentengi kepentingan bangsa. Setiap regional atau forum multilateral juga perlu fokus memandang luas di anjungan kapal untuk menuju ke tujuan pelabuhan yang sama, meski dapat melintasi berbagai rute pelayaran yang berbeda.
Komunitas maritim berada di garis depan risiko ancaman perubahan iklim. Bukan hanya karena bahaya pasang air laut, badai, gelombang panas, tetapi juga ancaman laten: naiknya level permukaan air laut.
Pelabuhan memegang fungsi penting dalam perdagangan global, karena sekitar 80% volume perdagangan dunia diangkut via transportasi laut. Disrupsi pada operasional pelabuhan memengaruhi distribusi yang mengancam ekonomi lokal. Morat-maritnya ekonomi mikro akan diderita terlebih dahulu oleh masyarakat kecil (sosial) yang lalu memapar risiko perambahan alam (lingkungan), serta stabilitas pemerintahan (tata kelola). Alias ujung-ujungnya ESG.
Tantangan perubahan iklim menjadi alarm yang membangunkan kesadaran global untuk bersama mewujudkan keberlanjutan. Satu Pelindo yang mengusung visi ‘Menjadi pemimpin ekosistem maritim terintegrasi dan berkelas dunia’ membuat Pelindo berada dalam perlintasan yang strategis untuk mengajak serta para pemangku kepentingan dalam komunitas maritim.
Visi Pelindo juga sangat berkaitan erat dengan Prinsip ESG. Pemilihan diksi ‘ekosistem’ memberikan konteks bahwa aspek pengelolaan pelabuhan tak bisa lepas dari aspek lingkungan sebagai ‘habitatnya’ dan juga ‘komunitas’ maritim sebagai aspek sosialnya. Tata Kelola yang Baik (Good Corporate Governance/GCG) bukan hanya amanah regulasi, tetapi landasan keberlanjutan bisnis.
Kerangka kerja ESG memiliki banyak titik temu dengan konsep Triple Bottom Line (3BL) dan 3 bidang prioritas Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang diarahkan oleh Kementerian BUMN. Prinsip ESG sebagai kerangka kerja sangat potensial sebagai panduan arah perusahaan. Konsep 3BL, yang terdiri atas “people, profit, planet,” menekankan bahwa kesuksesan bisnis juga harus diukur berdasarkan dampak positifnya pada manusia (kesejahteraan sosial), keuntungan (kinerja finansial), dan planet (kelestarian lingkungan).
Selain itu, ketiga bidang prioritas Program TJSL membuka ruang untuk eksekusi implementasi kerangka kerja ESG: lingkungan sebagai wujud loyalitas pada pelestarian Tanah Air, pendidikan untuk turut mencerdaskan bangsa, serta pengembangan UMK sebagai wujud keberpihakan pada pelaku usaha kecil mitra membangun perekonomian negeri. Syahdan, semakin sahih Prinsip ESG untuk dijadikan mercusuar arah masa depan pelabuhan Indonesia yang berkelanjutan.
Mehmet Murat Ildan, seorang penulis drama dari Turki, pernah berkata, “Anda mencari mercusuar? Izinkan saya memberikan nasihat: Ketika Anda meningkatkan pemikiran Anda sendiri, maka Anda dapat menjadikan diri sendiri sebagai mercusuar.” Dengan begitu insan Pelindo dapat menjadi penerang langkah keberlanjutan komunitas maritim Indonesia, bahkan dunia.