Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti Jurus Jitu Pemerintah Atasi Disparitas Harga Beras

Saat ini disparitas harga pangan masih terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, salah satunya komoditas beras
Buruh melakukan bongkar muat karung berisi beras di Gudang Bulog Divre Jawa Barat di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/1/2023). Bisnis/Rachman
Buruh melakukan bongkar muat karung berisi beras di Gudang Bulog Divre Jawa Barat di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/1/2023). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Disparitas harga komoditas pangan masih menjadi tantangan yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Pasalnya, saat ini disparitas harga pangan masih terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, salah satunya komoditas beras.

Berdasarkan pantauan Bisnis pada pekan lalu, harga beras di Pasar Weekarou, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur bahkan berada di angka Rp14.000 hingga Rp15.000 per kilogram untuk beras medium.

Harga tersebut melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan dalam Peraturan Bapanas (Perbadan) No.7/2023 sebesar Rp11.500 per kilogram untuk beras medium.

Lonjakan harga beras di kabupaten ini sudah terjadi sejak Agustus 2023. Sebelum mengalami kenaikan harga, biasanya beras medium dijual sebesar Rp10.000 per kilogram. 

“Naiknya [harga] beras itu sejak Agustus. Harganya meningkat, dari Rp10.000, [sekarang] Rp14.000-Rp15.000,” kata Laliteo, seorang pembeli di Pasar Weekarou, Sumba Barat, Selasa (19/9/2023). 

Meroketnya harga beras membuat masyarakat semakin susah, lantaran beras merupakan makanan pokok di Sumba. Laliteo berharap, harga beras di daerahnya bisa turun sehingga mereka mampu membeli beras. 

Di hari yang sama, harga berbagai jenis beras di DKI Jakarta juga mengalami lonjakan. Data Informasi Pangan Jakarta, Selasa (19/9/2023) mencatat, harga beras IR. I (IR 64) naik Rp131 menjadi Rp13.525 per kilogram.

Kemudian, harga beras IR. II (IR 64) Ramos naik Rp94 menjadi Rp12.700 per kilogram, dan beras IR. III (IR 64) naik Rp51 menjadi Rp12.086 per kilogram. 

Lalu, harga beras muncul naik Rp50 menjadi Rp13.800 per kilogram, beras IR 42/Pera naik Rp104 menjadi Rp14.785 per kilogram, dan beras setra I/Premium naik Rp105 menjadi Rp13.844 per kilogram.

Sementara itu, Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada Selasa (19/9/2023) yang diakses pukul 17.40 WIB mencatat, rata-rata harga beras premium secara nasional di tingkat pedagang eceran sebesar Rp14.530 per kilogram.

Harga tertinggi terjadi di Papua sebesar Rp18.050 per kilogram, sedangkan harga terendah di Sulawesi Selatan Rp13.170 per kilogram. 

Kemudian, harga beras medium secara nasional sebesar Rp12.930 per kilogram, dengan harga tertinggi terjadi di Papua sebesar Rp16.030 per kilogram dan harga terendah di DKI Jakarta sebesar Rp11.760 per kilogram. 

Masalah Distribusi Beras

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengungkapkan, adanya perbedaan harga tersebut lantaran stok beras di daerah lain tak sebanyak di pulau Jawa. Adapun, sebagian besar pasokan beras dikirim ke kota besar di pulau Jawa. 

DKI Jakarta sendiri mengonsumsi sekitar 689.000 ton beras per tahun, sedangkan Jawa Barat sekitar 3,9 juta ton per tahun. Meski bukan sentra produksi, Jakarta memiliki pasar beras terbesar yaitu Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). 

“Situasi ini menyebabkan harga beras di luar Jawa menjadi lebih tinggi karena stok tidak sebanyak di Jawa,” kata Bhima kepada Bisnis, dikutip Minggu (24/9/2023). 

Rantai distribusi yang panjang, termasuk biaya logistik di luar Jawa yang cukup tinggi menjadi pemicu disparitas harga di sejumlah daerah. Idealnya, kata Bhima, rantai distribusi dapat dipangkas oleh BUMN Pangan, dalam hal ini Perum Bulog.

Lalu, dengan percepatan pembangunan infrastruktur jalan desa, biaya logistik harusnya bisa terus diturunkan. Apalagi, pemerintah memiliki program Tol Laut yang bertujuan untuk memangkas disparitas harga kebutuhan pokok. 

“Masih banyak pekerjaan rumah untuk mempersempit disparitas harga beras,” ujarnya. 

Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas, Rachmi Widiriani, tak menampik bahwa harga beras di wilayah Indonesia Timur lebih tinggi jika dibandingkan di Pulau Jawa.

Sebagai daerah yang bukan sentra padi, beras harus didatangkan dari provinsi lain dengan moda transportasi seperti kapal besar, kapal pengumpan, dan truk. Bahkan, tak jarang, bahan pangan ini diangkut oleh berbagai jenis moda transportasi dalam satu perjalanan.

Belum berhenti di situ, rantai pasok dari produsen hingga konsumen akhir bisa melalui tiga hingga empat pedagang antara sehingga tak heran harga beras akhir menjadi lebih mahal.

Upaya Atasi Disparitas Harga Beras

Pemerintah sendiri sudah mengerahkan berbagai upaya untuk mempersempit disparitas harga beras. Diantaranya, menyediakan biaya fasilitas distribusi dan menyalurkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pasar (SPHP). Beras yang berasal dari cadangan pemerintah ini dijual langsung ke pasar sesuai dengan HET per wilayah.

Untuk wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatra Selatan pemerintah menetapkan HET sebesar Rp10.900 per kilogram untuk beras medium dan Rp13.900 per kilogram untuk beras premium.   

Di wilayah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebesar Rp11.500 per kilogram untuk beras medium dan Rp14.400 per kilogram untuk beras premium. 

HET beras medium dan premium masing-masing ditetapkan sebesar Rp10.900 per kilogram dan Rp13.900 per kilogram untuk wilayah Bali dan NTB. Lalu di NTT, HET beras medium ditetapkan Rp11.500 per kilogram dan premium Rp14.400 per kilogram.  

Untuk wilayah Kalimantan, HET beras medium Rp11.500 per kilogram dan premium Rp14.400 per kilogram, sedangkan Maluku dan Papua ditetapkan sebesar Rp11.800 per kilogram untuk HET medium dan Rp14.800 untuk HET premium.

Di sisi lain, pemerintah juga menggelar Gerakan Pangan Murah (GPM) di seluruh provinsi/kabupaten/kota.

Kendati demikian, operasi pasar ini dinilai hanya bersifat sementara. Menurut Bhima, untuk strategi jangka panjang pemerintah perlu meningkatkan produksi pangan lokal dan mencari alternatif lain pengganti beras.

Opsi lainnya, kepala daerah harus bekerja sama dengan daerah lain. Misalnya, daerah dengan stok beras yang melimpah atau surplus bekerja sama dengan daerah defisit, sebagaimana yang telah dilakukan DKI Jakarta di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

“Jadi ada kontrak jangka panjang. Kepala daerah harus lebih proaktif,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper