Bisnis.com, JAKARTA – Aturan penjaminan pemerintah untuk pendanaan atas biaya tambahan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang membengkak dinilai memberikan beban tambahan bagi keuangan negara atau APBN.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa penjaminan atas pendanaan cost overrun proyek tersebut akan memberikan beban tidak langsung terhadap APBN.
Menurutnya, skema penjaminan tersebut juga tidak sesuai dengan kesepakatan awal, yang seharusnya tidak melibatkan APBN karena skema proyek KCJB dirancang business to business (B2B).
“Sudah melenceng jauh dari awal yang sifatnya B2B, kemudian ada keterlibatan PMN [penyertaan modal negara] dan mekanisme subsidi tiket, sekarang masuk ke penjaminan,” katanya kepada Bisnis, Senin (18/9/2023).
Bhima menilai, secara finansial, proyek KCJB ini telah menjadi beban bagi pembayar pajak yang seharusnya bisa mandiri secara komersial.
“Sebaiknya PMK No. 89/2023 di review kembali,” tutur Bhima.
Baca Juga
Dia mengatakan, keterlibatan keuangan negara dalam proyek KCJB pun berisiko terhadap pelebaran defisit APBN, serta menambah beban utang dan mempersempit ruang fiskal.
“Padahal pada 2024 estimasi rasio pembayaran bunga utang dan pokok utang telah menembus 42 persen dari total pendapatan negara,” kata Bhima.
Adapun, aturan penjaminan pemerintah tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 89/2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
“Penjaminan Pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung dalam Peraturan Menteri ini disediakan dalam rangka memperoleh pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya [cost overrun] sesuai dengan hasil keputusan Komite,” bunyi Pasal 2 PMK No. 89/2023.
Penjaminan pemerintah ini diberikan atas keseluruhan dari kewajiban finansial PT KAI terhadap kreditur berdasarkan perjanjian pinjaman.
Kewajiban finansial yang dimaksud terdiri atas pokok pinjaman, bunga pinjaman, dan atau biaya lain yang timbul sehubungan dengan perjanjian pinjaman.
Penjaminan pemerintah diberikan dengan mempertimbangkan prinsip kemampuan keuangan negara, kesinambungan fiskal, dan pengelolaan risiko fiskal.