Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator (Menko) bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menekankan keberlanjutan proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya harus didukung oleh investasi yang tepat.
Dia menuturkan, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung perlu dijadikan sebagai pelajaran yang baik agar nantinya konstruksi lanjutan Kereta Cepat dari Bandung hingga Surabaya berjalan efektif dan efisien.
"Pelajaran ini bukan tentang saling menyalahkan, tetapi tentang mengenali celah-celah yang ada, apa yang tidak berjalan sesuai rencana, sehingga kita dapat memastikan masalah serupa tidak terulang," kata AHY di Jiexpo Kemayoran, Selasa (29/7/2025).
Lebih lanjut, AHY juga menekankan pemerintah akan menggandeng investor guna menemukan kerja sama investasi yang tepat dalam mendukung pembangunan kereta cepat yang bakal terbentang dari Jakarta hingga Surabaya.
Untuk itu, dia menyebut saat ini pihaknya tengah menggodok regulasi baru yang bakal menjadi payung hukum pelaksanaan konstruksi Kereta Cepat Jakarta - Surabaya.
"Kami sedang menyiapkan kerangka regulasi baru. Pengalaman dari proyek Jakarta-Bandung menunjukkan bahwa instrumen hukum yang ada harus berkembang untuk memenuhi tuntutan sektor yang kompleks dan dinamis ini," tandasnya.
Baca Juga
AHY menambahkan, konstruksi Kereta Cepat Jakarta - Bandung hingga Surabaya bukan sekadar melanjutkan proyek. Hal itu mencerminkan visi ambisius pemerintah yang hendak meningkatkan konektivitas Pulau Jawa dengan mobilitas yang lebih cepat, bersih, dan terintegrasi.
"Semangatnya jelas, kita harus membangun dengan lebih baik, merencanakan dengan lebih baik, dan melaksanakan dengan lebih baik," pungkasnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam realisasinya mengalami pembengkakan biaya (cost overrun).
Hal itu terjadi salah satunya didorong oleh hantaman Pandemi Covid-19 hingga krisis global yang berdampak pada laju perekonomian Indonesia. Alhasil, pemerintah kala itu menyetujui penjaminan utang dari China menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Megaproyek transportasi tersebut awalnya direncanakan menelan biaya sebesar US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,5 triliun. Adapun, Indonesia mendapatkan pinjaman dari China Development Bank (CBD) untuk proyek tersebut sekitar 75% atau sekitar Rp64,8 triliun.
Kendati demikian, dalam perjalanannya proyek ambisius tersebut ternyata mengalami pembengkakan biaya sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp8,3 triliun. Beban biaya bengkak itu dibagi dua antara China dan Indonesia. Pihak Indonesia harus membayar sekitar US$720 juta.
Tak berhenti disuru, pihak CBD akhirnya kembali memberikan pinjaman dana bagi Indonesia untuk membayar cost overrun tersebut sebesar US$550 juta atau sekitar Rp8,3 triliun dengan bunga 3,4 persen dan tenor 30 tahun. Secara total utang Indonesia dalam proyek Kereta Cepat yang kemudian diberi nama Whoosh ini mencapai Rp73,1 triliun.