Bisnis.com, JAKARTA – Taipan tomy winata disebut menggelontorkan Rp1,2 triliun untuk meraih konsesi pengembangan kawasan Pulau Rempang di Batam, Kepulauan Riau.
PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata membayarkan nilai sewa tanah Pulau Rempang sebesar Rp26.000 per meter selama 30 tahun.
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol bp batam, Ariastuty Sirait mengatakan perusahaan Tomy Winata itu melakukan perjanjian kerja sama sejak 2004.
“Nilai sewa tanah [PT MEG] dalam perjanjian itu sekitar Rp26.000 per meter, dengan masa konsensi selama 30 tahun,” kata Ariastuty Sirait di Jakarta, pekan ini.
Dia menguraikan, setelah masa kerja sama selama 30 tahun habis, dapat diperpanjang 30 tahun lagi untuk periode kedua. Kemudian, apabila periode kerja sama kedua habis, dapat diperpanjang selama 20 tahun.
Ariastuty mengatakan dalam setiap masa perpanjangan habis, syarat kerja sama atau nilai sewa dapat dievaluasi sesuai dengan kesepakatan. Namun, pembayaran sewa baru akan dilakukan ketika tanah di Pulau Rempang itu mulai digunakan.
Baca Juga
Sejak 2004, tanah di Pulau Rempang baru akan digunakan produsen panel surya, Xinyi Glass Holdings Ltd. Investor asal China itu komitmen untuk mengucurkan investasi sebesar US$11,6 miliar atau sekitar Rp175 triliun untuk areal lahan 2.000 meter.
Ariastuty tidak menyebutkan, apakah pembayaran sewa pertama tersebut terhitung dimulainya masa kontrak selama 30 tahun. Dia menyampaikan bahwa total nilai sewa oleh perusahaan Tomy Winata mencapai Rp1,2 triliun.
“Total nilainya Rp1,2 triliun. Itu yang kami pakai kembali untuk relokasi masyarakat, membuatkan rumah hingga fasilitas umum lainnya,” jelasnya.
Perusahaan Tomy Winata menjadi penyewa tunggal Pulau Rempang yang mencapai ribuan hektare. Selain Rempang, Tomy pun menjadi penyewa Pulau Galang. Ketiga pulau, bersama Batam, tersambung dengan jembatan, yang dikenal dengan Jembatan Barelang (Batam, Rempang dan Galang).
Pulau Rempang akan dikembangkan menjadi kawasan industri dengan nama Rempang Eco City. Semula, developer kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) itu, disebut-sebut akan mengembangkan Rempang sebagai kawasan hiburan terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Namun, rencana itu mendapatkan penolakan dari warga, karena Indonesia melarang tempat hiburan yang berbasis perjudian. Akhirnya, konsep itu dicontek oleh Sentosa Island, milik Singapura, yang terbesar di Asia Tenggara.
Hal tersebut dibenarkan oleh Elen Setiadi, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum dan Ketahanan Ekonomi Kemenko Bidang Perekonomian. Menurutnya, Rempang adalah bagian dari Zona Perdagangan Bebas (Free Trade Zone/FTZ).
Hak pengelolaan lahan (HPL), sambungnya, dikuasai oleh BP Batam sejak 1986 dengan luasan lebih dari 15.000 hektare. Namun, mulai 2002 baru ada pengembang yang bekerja sama ingin mengembangkan Pulau Rempang. Elen tidak menyebutkan nama pengembang tersebut.
“Karena pengembang lama tidak berjalan, pada 2004 diperbarui dengan PT MEG menjadi pengembangnya, semula akan dijadikan tempat hiburan, karena dekat dengan Singapura itu,” tuturnya.
Rencana Tomy Winata di Pulau Rempang
Tomy Winata melalui PT MEG akan mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan industri yang ramah lingkungan sehingga disebut Rempang Eco City. Menurut Ariastuty, PT MEG akan membangun Rempang Tower yang menelan dana hingga Rp45 triliun.
“Pembangunan bersamaan masuknya Xinyi Group itu, Rempang Tower akan menjadi menara tertinggi di kawasan ini,” ujarnya.
Komitmen investasi yang siap dikucurkan oleh Xinyi Glass Holding dalam proyek Rempang Eco-City tersebut bahkan dilaporkan mencapai US$11,6 miliar ekuivalen Rp175 triliun (Asumsi kurs: Rp15.100), atau sekitar 45,93 persen dari total investasi yang dibidik Rp381 triliun.
Komitmen investasi tersebut bahkan telah disepakati dalam perjanjian kerja sama antara Indonesia dan China yang telah ditandatangani pada 28 Juli 2023 lalu.
Menteri Penanaman Modal/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Kepala BKPM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan, investasi tersebut akan berkontribusi dalam membangun ekosistem industri kaca dan panel surya di wilayah Rempang, Batam, Indonesia.
"Investasi dari Xinyi Glass di Indonesia akan menjadi yang terbesar di luar China," kata Bahlil dikutip dari siaran pers Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Senin (11/9/2023).
Namun, rencana PT MEG untuk menggembangkan kawasan Rempang masih terkendala dengan pembebasan tanah, yang menjadi porsi BP Batam sebagai pemberi sewa lahan. Bisnis mencoba menghubungi staf komunikasi Grup Artha Graha, tetapi belum mendapatkan keterangan hingga berita diturunkan.
Menurut Ariastuty, masalah pembebasan lahan saat ini menuju arah positif. Sebagian besar warga yang tinggal di Rempang mulai menyetujui relokasi sementara sebelum mendapatkan rumah tinggal tetap.
BP Batam menjanjikan tempat tinggal sementara di Batam di rusun bekas penampungan tenaga kerja Indonesia. Warga yang berjumlah 17.000 dijanjikan uang Rp1,2 juta per bulan selama belum mendapatkan rumah.
Mereka dijanjikan rumah ukuran 45 meter persegi di Pulau Galang dengan tanah seluas 500 meter. Namun, rencana itu ditolak oleh warga, karena dinilai rumah di Rempang merupakan kampung tua warga Melayu.
Tenggat Pengosongan Pulau Rempang
Presiden Jokowi mengutus 3 menterinya ke Pulau Rempang untuk meredam konflik yaitu Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.
Dalam rapat koordinasi yang digelar di Kota Batam, Minggu (17/9/2023), Bahlil meyakinkan banyak pihak jika investasi di Pulau Rempang akan memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Dia optimistis, Rempang yang akan menjadi mesin ekonomi baru Indonesia juga bakal meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah ke depannya.
“Yakinlah bahwa investasinya ini untuk kesejahteraan rakyat. Dengan menciptakan banyaknya lapangan pekerjaan, pendapatan masyarakat juga akan meningkat,” ujar Bahlil usai rapat teknis terkait dinamika investasi di Rempang.
Dia juga mendukung langkah BP Batam dalam melakukan pendekatan humanis ke masyarakat Rempang. Khususnya dalam melakukan sosialisasi dan pendataan terhadap warga yang terdampak pengembangan.
Menurutnya, komunikasi yang baik dan humanis jauh lebih penting dalam percepatan investasi di Pulau Rempang.
“Untuk investasi, kita bersaing dengan negara luar. Kita tidak bisa menunggu karena investasi ini akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Yang paling penting, komunikasi ke masyarakat harus jauh lebih baik,” ujarnya.
Bahlil menegaskan bahwa relokasi warga Rempang harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Rencana pendaftaran relokasi paling lambat pada 20 September 2023. Sementara pengosongan pulau paling lambat pada 28 September 2023.
"Ini sekarang bukan persoalan tanggal, karena sudah diputuskan di awal. Tapi ini bagaimana yang terpenting cara komunikasi baik dengan warga disana. Mau cepat atau tidak, itu soal yang lain," tuturnya.
Menurut Bahlil, rencana investasi Xinyi senilai Rp175 triliun tersebut harus bisa direalisasikan. Pasalnya, saat ini Indonesia tengah berkompemtisi dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk menarik investasi asing.
Jadwal pengosongan pulau dan relokasi warga ke Pulau Galang harus dilakukan segera untuk meyakinkan investor asing, bahwa Indonesia berkomitmen penuh. Pabrik kaca milik Xinyi juga merupakan pabrik berpolusi, sehingga jika warga tidak segera direlokasi akan membahayakan kesehatannya.
"Kita ini sedang berkompetisi, karena global Foreign Direct Invesment (FDI) terbesar ada di negara tetangga. Ini kita rekrut investasi untuk buat lapangan kerja. Kalau kita tunggu terlalu lama, memang mereka mau menunggu kita. Kita butuh mereka, tapi kita juga harus hargai yang di dalam," ucapnya.
Menurutnya, jika rencana investasi Xinyi Group melayang, maka akan menjadi kerugian besar bagi Indonesia.
"Investasi ini total Rp300 triliun lebih. Tahap pertama sebesar Rp 175 triliun. Ini investasi besar. Kalau lepas, maka potensi pendapatan asli daerah (PAD) dan penciptaan lapangan kerja untuk orang disini akan hilang," ungkapnya.