Bisnis.com, JAKARTA – Surplus neraca perdagangan Indonesia meningkat menjadi sebesar US$3,12 miliar pada Agustus 2023, dari US$1,31 miliar pada Juli 2023. Surplus pada Agustus 2023 tersebut menandai surplus perdagangan selama 40 bulan beruntun.
Meski demikian, neraca perdagangan secara kumulatif tercatat hanya mencapai US$24,34 miliar pada periode Januari-Agustus 2023, lebih rendah dari US$34,84 miliar pada periode yang sama pada 2022.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyampaikan bahwa Indonesia pada Agustus 2023 mencatatkan kontraksi ekspor yang semakin melebar, yaitu sebesar 21,21 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), dibandingkan dengan kontraksi pada Agustus 2022 sebesar 18,10 persen yoy.
Penurunan ini, menurutnya, disebabkan oleh berlanjutnya perlambatan ekonomi dunia sebagai dampak dari inflasi yang lebih tinggi yang memaksa kenaikan suku bunga, serta penurunan harga komoditas dibandingkan tahun lalu.
“Namun, secara bulanan, ekspor menunjukkan peningkatan yang sehat sebesar 5,47 persen mtm [month-to-month/mtm] pada Agustus 2023, kinerja yang lebih baik dari pertumbuhan 1,36 persen mtm pada Juli 2023,” katanya, dikutip Minggu (17/9/2023).
Sejalan dengan itu, kinerja impor pada Agustus 2023 juga tercatat terkontraksi 14,77 persen yoy, lebih dalam dari kontraksi Juli 2023 sebesar 8,32 persen yoy.
Baca Juga
Andry memperkirakan kinerja ekspor dan impor Indonesia akan lebih baik ke depan, terindikasi oleh beberapa indikator ekonomi yang menunjukkan tren positif, terutama indikator China yang mulai meningkat.
“Dari sisi positif, pemerintah China telah memberikan stimulus untuk memajukan perekonomiannya. Hal ini terlihat dari data produksi industri China, penjualan ritel yang mulai meningkat dan daya tahan ekonomi domestik yang relatif lebih kuat di tengah kelesuan ekonomi global,” jelasnya.
Di sisi lain, Andry mengatakan bahwa perekonomian Amerika Serikat (AS) masih menghadapi laju inflasi yang tinggi di tengah ketatnya pasar tenaga kerja. Akibatnya, bank sentral AS diperkirakan masih terus menaikkan suku bunga untuk waktu yang cukup lama.
Kondisi ini menyebabkan penurunan permintaan di seluruh dunia, yang berdampak negatif pada aktivitas perdagangan global.
Dengan perkembangan tersebut, Andry memperkirakan penurunan surplus perdagangan akan terus berlanjut, sehingga meningkatkan kemungkinan pergeseran neraca perdagangan menjadi defisit lebih awal dari yang diantisipasi sebelumnya.
“Kami memperkirakan transaksi berjalan [current account] akan mencatat defisit kecil sebesar -0,65 persen dari PDB pada 2023, dibandingkan surplus 0,99 persen dari PDB pada 2022,” katanya.
Namun demikian, positifnya, menurut Andry pemerintah telah mengimplementasikan PP No. 36/2023 tentang DHE guna memperkuat upaya pengamanan devisa hasil ekspor sumber daya alam.
Berdasarkan ketentuan ini, eksportir yang di sektor-sektor seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, dengan minimal nilai ekspor mencapai US$250.000 atau setara, diwajibkan menyimpan setidaknya 30 persen dari hasil devisa mereka di dalam negeri selama minimal 3 tiga bulan.
“Pemberlakukan PP ini diperkirakan memberikan kontribusi sekitar US$12-US$15 miliar pada cadangan devisa periode Agustus hingga Desember 2023, sehingga memberikan dukungan dalam meningkatkan stabilitas dan mendorong pertumbuhan,” kata Andry.