Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Produsen Serat dan benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan terdapat sekitar 28.480 kontainer tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal masuk ke Indonesia setiap tahunnya, membuat industri dalam negeri tertekan.
Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta mengatakan angka impor ilegal ini terus naik setiap tahun. Hal ini terlihat dari perbandingan data Badan Pusat Statistik (BPS) nasional terkait impor TPT dengan data ekspor China.
Berdasarkan data dari General Custom Administration of China, ekspor TPT (HS 50-63) China ke Indonesia mencapai US$6,5 miliar. Sedangkan, BPS mencatat angka impor TPT dari China hanya US$3,55 miliar.
"Jika diasumsikan impor per kontainer senilai Rp1,5 miliar maka diperkirakan sekitar 28.480 kontainer TPT ilegal masuk per tahun, atau sekitar 2.370 kontainer ilegal perbulan," kata Redma dalam keterangan resminya, Sabtu (16/9/2023).
Dari data tahun 2022 tersebut, Redma mencatat berdasarkan data International Trade Center (ITC), terdapat gap senilai US$2,94 miliar atau setara Rp43 triliun yang tidak masuk dalam catatan resmi dari BPS.
"Padahal sebelum beberapa tahun sebelumnya masih dibawah US$2 miliar," imbuhnya.
Baca Juga
Di samping itu, dia juga memberikan gambaran porsi impor tekstil ilegal. Adapun, nilai konsumsi TPT masyarakat pada 2022 mencapai US$16 miliar. Dengan demikian, pangsa pasar barang impor ilegal mencapai 41 persen.
Redma menegaskan bahwa menurut perhitungannya, maka 41 persen produk teksil yang diserap masyarakat tahun lalu merupakan barang ilegal.
"Hal ini tentu sangat merugikan karena barang-barang impor ilegal ini tidak bayar Bea Masuk dan Pajak sehingga bisa dijual sangat murah dipasar domestik dan produk lokal kalah bersaing," ujarnya.
Permasalahan impor TPT ilegal terbilang sudah tahun menahun dan menjadi biangkerok utama penurunan kinerja industri TPT nasional.
Dia menjelaskan bahwa angka ekspor tekstil China ke Indonesia senilai US$6,5 miliar setara dengan 800.000 ton atau sekitar 45 persen dari kapasitas produksi industri kecil menengah (IKM) garmen yang berorientasi pasar domestik.
"800.000 ton pertahun jika dikerjakan oleh IKM bisa menyerap tenaga kerja sekitar 2,4 juta orang, belum lagi jika ditarik sampai ke pembuatan kain, benang, serat hingga industri pendukung lainnya," jelas Redma.
Lebih lanjut, dia menuturkan multiplier effect ekonomi dari industri TPT sangat besar, sehingga ketika industri ini terpuruk maka akan mempengaruhi pendapatan pajak negara, penggunaan listrik, hingga pembayaran BPJS.
Untuk itu, Redma meminta agar pemerintah segera bertindak tegas untuk menyelesaikan dari sisi polemik importasi maupun dari sisi peredarannya dipasar.
"Ini sudah terjadi pembiaran selama bertahun-tahun, hingga saat ini kondisi industri TPT nasional sudah kronis, beberapa perusahaan sudah tutup, sebagian sudah banyak mematikan mesin hingga banyak karyawan yang terkena rasionalisasi karena utilisasi turun," ungkapnya.
Di sisi lain, Redma juga mengungkap temuan berdasarkan data ITC, di mana ada gap ekspor-impor antara Indonesia dengan Singapura ditahun 2022 mencapai US$17 miliar. Namun, impor ilegal dari Singapura didominasi oleh produk elektronik.
"Sedangkan TPT ilegal masih didominasi dari China," pungkasnya.