Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menegaskan pemerintah bakal tetap menahan harga Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) atau Pertalite (RON 90) di tengah rebound harga minyak mentah dunia.
Arifin mengatakan pemerintah mewaspadai potensi migrasi pembelian BBM nonsubsidi ke Pertalite nantinya. Arifin mengkhawatirkan migrasi itu justru akan meningkatkan konsumsi bahan bakar yang selama ini dikompensasi pemerintah sebagai dampak naiknya harga BBM nonsubsidi.
“Yang nonsubsidi kan sudah pada naik tuh, ini juga nanti akan mendorong memakai yang Pertalite kan, kita harapkan, kita imbau supaya jangan masuk sektor subsidi,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (15/9/2023).
Dia meminta masyarakat mampu untuk tetap membeli BBM nonsubsidi kendati terjadi penguatan harga pada lini produk komersial tersebut. Dengan demikian, dia menyatakan anggaran subsidi dan kompensasi pemerintah tetap terjaga hingga akhir tahun nanti.
“Karena juga yang berkendara kan banyak dari segmen mampu, seharusnya bisa lah konsumsi BBM yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, harga minyak mentah acuan Amerika Serikat menembus level di atas US$90 per barel pada akhir perdagangan Kamis (14/9/2023) waktu setempat. Level psikologis ini dicapai untuk pertama kalinya sejak November 2022.
Baca Juga
Harga minyak Brent untuk pengiriman November 2023, naik US$1,82 atau 1,98 persen menjadi menetap di US$93,70 per barel di London ICE Futures Exchange, setelah mencapai tertinggi sesi di US$93,89 per barel yang merupakan tertinggi sejak November 2022.
Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate AS untuk pengiriman Oktober 2023, menguat US$1,64 atau 1,85 persen menjadi ditutup pada US$90,16 per barel di New York Mercantile Exchange. WTI menetap di atas US$90 untuk pertama kalinya sejak November 2022.
Mengutip Bloomberg, Jumat (15/9/2023), Badan Energi Internasional (IEA) pada minggu ini memperingatkan bahwa pengurangan pasokan yang berkelanjutan oleh kedua pemimpin OPEC+ kemungkinan akan menciptakan kekurangan pasokan yang signifikan dan mengancam volatilitas harga lebih lanjut.
Laporan IEA tersebut muncul sehari setelah OPEC mengatakan pasar menghadapi defisit lebih dari 3 juta barel per hari pada kuartal berikutnya, yang berpotensi menjadi defisit terbesar dalam lebih dari satu dekade.
Dengan harga yang melonjak lebih dari 30 persen sejak akhir Juni, para investor minyak bersiap menghadapi potensi kemunduran karena pengukur teknis seperti indeks kekuatan relatif menunjukkan kontrak berjangka berada di dekat wilayah overbought (jenuh beli).
“Harga West Texas Intermediate sekarang melihat resistensi jangka pendek di US$90,04 per barel,” tulis Dennis Kissler, wakil presiden senior untuk perdagangan di BOK Financial Securities.
Permintaan di AS dan China sebagai konsumen terbesar minyak tetap tinggi sementara pemimpin OPEC+ Arab Saudi dan Rusia membatasi pasokan.
Reli ini merupakan dorongan bagi perekonomian negara-negara penghasil minyak. Namun, menimbulkan pertanyaan baru mengenai apakah harga minyak mentah akan menggagalkan upaya bank sentral di seluruh dunia untuk menekan inflasi.