Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Mohammad Faisal

Direktur Eksekutif CORE Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Anomali Defisit Transaksi Berjalan Pasca Pandemi

Sejak paruh kedua 2020 hingga awal 2023, transaksi berjalan mengalami surplus bahkan mencapai lebih dari US$12,6 miliar pada 2022.
Ilustrasi neraca perdagangan Indonesia lewat kegiatan ekspor-impor menggunakan kapal. JIBI/Bisnis
Ilustrasi neraca perdagangan Indonesia lewat kegiatan ekspor-impor menggunakan kapal. JIBI/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Dari sekian banyak dampak buruk pagebluk virus Corona terhadap perekonomian Indonesia, defisit transaksi berjalan bukanlah salah satu di antaranya.

Sebaliknya, kondisi pandemi justru mendorong neraca transaksi berjalan yang sebelumnya hampir selalu defisit, menjadi surplus. Sebelum pandemi, setiap tahunnya Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan hingga lebih dari US$30 miliar.

Namun, sejak paruh kedua 2020 hingga awal 2023, transaksi berjalan mengalami surplus bahkan mencapai lebih dari US$12,6 miliar pada 2022.

Anomali ini tentu sangat menarik. Apalagi, dua pembentuk utama transaksi berjalan yakni neraca perdagangan jasa dan neraca pendapatan, sebenarnya justru mengalami defisit yang makin lebar.

Defisit jasa pada 2022 bahkan menembus US$20 miliar atau tiga kali lipat defisit prapandemi, sebagai efek anjloknya kunjungan wisatawan asing karena penyebaran virus Corona.

Faktor utama dibalik surplus transaksi berjalan dalam 3 tahun terakhir tak lain adalah booming harga komoditas yang mendorong lonjakan surplus pada perdagangan barang.

Lonjakan ekspor yang luar biasa khususnya selama 2021—2022 mampu mengatrol keseluruhan performa transaksi berjalan menjadi surplus sebagaimana yang terjadi pada masa booming komoditas pada 2009—2011.

Sayangnya, kondisi ini tidak bertahan lama. Pada kuartal kedua tahun ini, sejalan dengan terus melemahnya harga komoditas, neraca transaksi berjalan pun kembali jatuh defisit.

Anomali nan menarik itu pun menjadi sebuah ironi. Ketika kondisi perekonomian membaik, performa neraca transaksi berjalan justru memburuk.

Selain ketergantungan terhadap ekspor komoditas yang masih relatif besar, anomali transaksi berjalan ini juga disebabkan oleh belum mampunya pemerintah mengatasi defisit pendapatan primer dan defisit jasa yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun.

Meredam defisit pada pendapatan primer memang merupakan bagian yang paling sukar. Pasalnya, kita masih sangat mengandalkan investasi asing untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara defisit pendapatan primer merupakan konsekuensi imbal hasil yang dibayarkan dari penanaman modal asing di Indonesia.

Namun, defisit perdagangan jasa semestinya relatif lebih memungkinkan untuk dikendalikan. Masalahnya, selama ini kita tidak memiliki sektor jasa andalan yang cukup kuat untuk dapat meredam defisit jasa.

Penyumbang terbesar defisit jasa adalah jasa transportasi, khususnya jasa transportasi barang penunjang perdagangan internasional. Sayangnya, hingga saat ini, kita masih terus dan sangat bergantung pada jasa transportasi asing dalam aktivitas ekspor-impor. Akibatnya, saat aktivitas ekspor dan impor meningkat, defisit jasa transportasi pun membengkak.

Memang Indonesia bukan satu-satunya yang langganan defisit pada jasa transportasi ini. Banyak negara berkembang lain juga menghadapi masalah yang sama. Akan tetapi, sejumlah negara tetangga terbukti mampu mengembangkan sektor jasa andalan yang dapat meredam defisit jasa transportasi yang mereka alami, sehingga neraca perdagangan jasa mereka pun berhasil surplus.

Sebut saja, Thailand dengan sektor pariwisata yang menjadi andalannya, atau Filipina yang memiliki tenaga kerja terampil dalam jasa telekomunikasi lintas negara dan berbagai jasa bisnis lainnya.

Kita semua tahu bahwa sektor pariwisata Indonesia amat sangat menjanjikan, bahkan potensinya melebihi negara-negara tetangga yang saat ini lebih sukses mengembangkan pariwisatanya. Namun, performa pariwisata Indonesia hingga kini masih jauh di bawah potensi yang dimiliki, terlebih di Kawasan Timur.

Devisa yang diperoleh dari wisatawan mancanegara pun masih belum cukup manjur untuk meredam defisit besar yang terjadi pada jasa transportasi. Apalagi bisnis pariwisata sempat lumpuh akibat pandemi dan masih belum sepenuhnya pulih hingga saat ini.

Meredam Defisit

Transformasi ekonomi yang tengah digalakkan oleh pemerintah untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi pada dasarnya sangat berkaitan erat dengan perbaikan kinerja transaksi berjalan. Dari sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan, tulisan singkat ini menekankan pada sektor-sektor jasa yang menjadi kunci, yakni pariwisata dan jasa transportasi laut.

Sektor pariwisata memang telah ditetapkan sebagai sektor unggulan dan driving force pertumbuhan ekonomi disamping industri manufaktur. Namun, indikator keberhasilan pariwisata semestinya tidak hanya terfokus pada jumlah kunjungan wisatawan, tetapi juga tingkat spending wisatawan di setiap kunjungannya.

Untuk itu, perencanaan yang terintegrasi antar sektor sangat dibutuhkan menarik wisatawan berbelanja lebih banyak saat mereka mengunjungi berbagai tempat wisata di Indonesia.

Sasarannya pun semestinya tidak hanya terfokus pada wisatawan mancanegara, tetapi juga wisatawan domestik yang justru memiliki potensi yang sangat besar. Perlu diingat bahwa surplus jasa perjalanan tidak hanya bergantung pada devisa yang diperoleh dari wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia.

Namun, juga bergantung pada sejauh mana wisatawan domestik lebih memilih untuk mengunjungi obyek di Tanah Air ketimbang berwisata ke luar negeri. Tentunya ini sangat ditentukan oleh perbaikan konektivitas dan biaya transportasi antar daerah, khususnya untuk mengunjungi daerah-daerah wisata di Indonesia Timur yang saat ini masih terkendala oleh tingginya biaya transportasi. Pendekatan pembangunan pariwisata yang terintegrasi menjadi kunci penting bagi transformasi pada sektor ini.

Defisit jasa transportasi yang sangat lebar juga harus segera diatasi melalui transformasi pada jasa transportasi laut, khususnya yang berhubungan dengan aktivitas ekspor impor. Sebagai negara maritim, Indonesia semestinya juga memiliki industri perkapalan yang kuat, yang idealnya juga ditunjang oleh jasa transportasi laut yang mumpuni.

Artinya, industrialisasi yang tengah digalakkan pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada sektor ini, dan tidak hanya terfokus pada penghiliran di sektor pertambangan.

Transformasi ekosistem transportasi laut tentunya tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu satu-dua tahun. Oleh karena itu, keseriusan dan konsistensi dibutuhkan untuk mengembangkan sektor ini.

Langkah-langkah strategis tersebut urgent dilakukan selain untuk menciptakan multiplier effect yang lebih besar dalam perekonomian nasional, juga untuk meredam defisit jasa yang cenderung melebar.

Dengan melakukan transformasi secara fundamental pada sektor jasa, defisit transaksi berjalan pun diharapkan dapat diredam secara berkelanjutan, sehingga tidak lagi menjadi sebuah anomali yang ironis dalam perekonomian kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper