Bisnis.com, JAKARTA — Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menilai positif rencana PT Pertamina (Persero) untuk menggandeng investor baru terkait dengan rencana pengembangan proyek LNG Abadi Blok Masela.
Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, mengatakan penambahan kontraktor baru nantinya dapat membantu mempercepat target operasi komersial atau onstream pada 2029 atau tiga tahun lebih cepat dari revisi rencana pengembangan lapangan atau PoD yang sempat diajukan Inpex Masela Ltd. dan mitra sebelumnya, Shell Upstream Overseas Services (I) Limited (SUOS).
“Memang uangnya cukup besar, ngajak-ngajak yang lain ya silakan saja tapi tidak boleh itu menjadi proses yang menghambat proyek, kita sudah sepakat semua 2029 harus onstream,” kata Tjip, sapaan karibnya saat ditemui di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Hanya saja, Tjip meminta, rencana pengembangan proyek ladang gas abadi itu tidak terhambat selepas konsen tambahan Pertamina untuk mengajak mitra baru untuk lapangan tersebut.
“Pokoknya itu jangan apa pun perubahannya jangan menghambat proyek,” ujarnya.
Kendati demikian, dia menuturkan, pihaknya belum menerima rencana penambahan kontraktor baru dari Pertamina sejauh ini. Dia mengatakan proses revisi PoD blok masih dikerjakan Inpex Masela Ltd. bersama dengan Konsorsium Pertamina dan Petronas.
Baca Juga
Seperti diketahui, Blok Masela merupakan salah satu prospek ladang migas terbesar di Indonesia. Produksinya diestimasikan dapat mencapai 1.600 juta kaki kubik per hari (MMscfd) gas atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun MTPA dan gas pipa 150 MMscfd, serta 35.000 barel kondensat per hari (bcpd).
Proyek yang diperkirakan menelan biaya investasi hingga US$19,8 miliar itu menjadi aset pengelolaan gas terbesar kedua dari Inpex, setelah Ichthys LNG Project di Australia.
Proyek Blok Abadi Masela itu bakal menutupi lebih dari 10 persen kebutuhan impor LNG tahunan Jepang nantinya. Di sisi lain, proyek itu juga diharapkan dapat menjaga ketahanan pasokan energi di Indonesia, Jepang, dan beberapa negara Asia lainnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menuturkan, kemungkinan untuk mengajak mitra anyar pada proyek ladang gas abadi itu didorong karena tingkat kesulitan serta kerumitan teknis pengangkutan gas dari lapangan lepas pantai, Kepulauan Tanimbar, Maluku tersebut.
“Tentu tidak menutup kemungkinan adanya pihak lain untuk masuk yang tentu akan melengkapi kompetensi dari blok ini dalam esekusinya, ini memang cukup dari sisi teknis kan complicated, ya sehingga kita harus pastikan semua berjalan baik,” kata Nicke saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII di DPR, Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Selepas divestasi hak partisipasi Shell di Blok Masela rampung bulan lalu, komposisi kepemilikan saham pada proyek strategis nasional itu beralih pada Pertamina dengan 20 persen hak partisipasi, 15 persen dipegang Petroliam Nasional Berhad atau Petronas. Saham mayoritas 65 persen dipegang Inpex sekaligus bertindak sebagai operator.
Nicke menuturkan, Pertamina bersama dengan mitra lainnya tengah memfinalisasi PoD revisi untuk mengejar target onstream Blok Masela yang dipatok pemerintah pada 2029 mendatang. Padahal, pada PoD sebelumnya saat bersama dengan Shell, target operasi komersial ditarget baru rampung pada 2032.
Selain itu, kata dia, revisi PoD saat ini juga menyasar pada penyelesaian pemasangan fasilitas fasilitas penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS).
“Kami hari-hari ini dengan konsorsium sedang mendetailkan supaya bisa mulai operasi 2029, rencana esekusi sudah kami lakukan entah dari sisi sumur pengembangan, eksplorasi, dan sebagainya serta berapa yang akan diinjeksikan Co2-nya, berapa yang masih boleh untuk flaring,” tutur Nicke.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, memastikan proyek pengembangan Blok Masela bakal tetap menggunakan sistem kombinasi darat (onshore) dan laut (offshore) untuk memastikan nilai investasi dari rencana pengembangan lapangan yang ada sebelumnya.
Lewat sistem kombinasi itu, pengeboran dasar laut bakal dilakukan di kedalaman 600 meter serta kedalaman sumur 4.000 meter, gas yang didapat akan diolah dalam bangunan apung bernama floating production, storage and offloading (FPSO) untuk dimurnikan dari kandungan zat lain.
Setelah dimurnikan di FPSO, gas bakal disalurkan menuju kilang gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) yang ada di darat melalui pipa bernama Gass Export Pipeline (GEP) yang berjarak 175 kilometer serta melalui palung-palung laut.
“Diharapkan dalam 3 bulan rencana kerja selesai, habis itu akan mengajukan rencana pengembangan [PoD], kalau PoD jalan kita ada kepastian kapan produksi pertama bisa terjadi,” kata Arifin, Jumat (28/7/2023).