Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, menyoroti perbedaan angka e-alokasi dan realisasi kontrak dalam pupuk subsidi imbas adanya laporan langkanya pupuk subsidi di daerah.
Menurut data yang diperoleh Sudin, pupuk subsidi yang dialokasi oleh Kementerian Pertanian (Kementan) tercatat sebesar 7,85 juta ton, sedangkan dalam realisasi kontrak Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) antara Kementan dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) hanya 6,68 juta ton.
“Saya punya data. Berdasarkan e-alokasi 2023 sebesar 7,85 juta ton sementara berdasarkan anggaran kontrak DIPA antara Pupuk Indonesia dengan Kementan jumlahnya cuma 6,68 juta ton. Mana yang benar?” tanya Sudin dalam Raker dengan Komisi IV di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Merespons pertanyaan tersebut, Direktur Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil, menuturkan bahwa awalnya Kementan mengalokasikan sebesar 7,85 juta ton pupuk subsidi untuk seluruh kabupaten/kota.
Namun, karena anggaran untuk pupuk yang dimiliki hanya sekitar Rp25 triliun, maka angka yang ada di kontrak berbeda, yakni 6,68 juta ton.
“Karena kondisi anggaran kita yang Rp25 triliun itu, mampunya segitu dengan harga HPP pupuk kita,” jelas Ali.
Baca Juga
Melihat kurangnya anggaran pupuk, Kementan sudah mengusulkan untuk meminta tambahan anggaran pupuk ke Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati. Adapun, permohonan tambahan anggaran sudah dikirimkan guna memenuhi kontrak yang telah dilakukan dengan Pupuk Indonesia.
Adapun, nasib selisih sekitar 1,17 juta ton pupuk subsidi dipertanyakan oleh Sudin. “Mau diapakan? Akan di pending, dijual non-subsidi, atau apa? Jangan digantung masalah ini karena ini harus jelas, sampai kapan ini akan diubah atau dijadikan pupuk non-subsidi?” ujarnya.
Menjawab hal tersebut, Ali mengaku sedang membahas masalah tersebut bersama Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kemenkeu. Pasalnya, kurangnya anggaran pupuk terjadi lantaran Harga Pokok Penjualan (HPP) yang digunakan untuk menghitung anggaran 2023 masih menggunakan HPP dua tahun sebelumnya, sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya menemukan selisih harga.
“Sehingga dengan anggaran Rp25 triliun dan dengan menggunakan harga audit BPK 2022, ada selisih uang terhadap kemampuan membeli pupuk kita itu,” tuturnya.