Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi membeberkan awal mula kasus yang melatarbelakangi pemanggilan PT Truba Bara Banyu Enim dan PT RMK Energy Tbk. (RMKE) terkait dugaan aktivitas pertambangan ilegal.
Bambang mengatakan, kasus bermula saat adanya aset pemerintah daerah (Pemda) di Sumatra Selatan yang dijual ke PT Truba Bara Banyu Enim, yang merupakan anak perusahaan dari PT RMK Energy, oleh oknum kepala desa sekitar.
Setelah dilakukan pembelian oleh PT Truba Bara Banyu Enim, pihak dari perusahaan bukannya mengurus pengalihan jalan untuk pertambangan, justru mereka langsung melakukan kegiatan penambangan.
Bambang menyebut, jika mengacu kepada Pasal 136 Undang-Undang Minerba, PT Truba Bara Banyu Enim wajib mengalihkan fungsi jalan untuk usaha pertambangan sebelum melakukan kegiatan penambangan.
“Jadi pekerjaan yang dilakukan oleh PT Truba dan PT RMK ini teramsuk dalam kategori illegal mining,” kata Bambang saat ditemui di Komplek DPR, Senayan, Senin (28/8/2023).
Bambang menjelaskan bahwa untuk kasus ini sudah terdapat satu orang tersangka, yaitu oknum kades yang ditetapkan oleh pihak kejaksaan. Oknum kades tersebut yang menjual tanah kepada dua perusahaan itu dan dirinya dikenakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Baca Juga
Bambang menyebut bahwa angka yang diberikan kejaksaan terkait kerugian atas kasus ini sekitar Rp1,8 miliar. Namun, dirinya masih menduga bahwa nilai kerugian tersebut akan bertambah lebih dari Rp1,8 miliar
“Berdasarkan kejaksaan hitungannya masih Rp1,8 miliar. Tapi kami menduga lebih dari itu jadi jangan kita nilai dari tanah yang digali, tapi kita nilai akibat dari aset pemerintah ini berapa yang mereka dapatkan,” ucapnya.
Adapun, pada siang ini, Senin (28/8/2023), Komisi VII DPR memanggil direktur utama PT Truba Bara Banyu Enim dan PT RMK Energy Tbk. (RMKE), beserta Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM untuk membahas dugaan illegal mining.