Bisnis.com, JAKARTA - Para pengusaha air minum dalam kemasan (AMDK) galon polikarbonat di daerah-daerah mengeluhkan wacana pelabelan BPA di kemasan galonnya. Menurut para pengusaha tersebut, kebijakan ini jelas-jelas akan merugikan industri yang sudah mereka bangun dengan susah payah ini.
Willy Bintoro Chandra, salah satu pengusaha asal Semarang sangat menyayangkan adanya kampanye hitam terhadap AMDK galon polikarbonat (PC) yang dilakukan sejak tahun 2020 lalu hingga saat ini, dengan menyebarkan isu bahwa AMDK ini mengandung BPA yang membahayakan kesehatan. “Tapi, saya katakan bahwa semua itu tidak benar. AMDK galon PC ini sudah digunakan sejak tahun 1984 dan tidak pernah terdengar membahayakan kesehatan masyarakat. Malah galon guna ulang ini menjadi favorit digunakan sebab ramah lingkungan karena bisa digunakan berulang,” katanya.
Pembina Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) DPD wilayah Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Kalimantan Tengah ini mengatakan kebijakan ini jelas akan merugikan industri yang memproduksi kemasan ini dan belum adanya bukti empiris bahwa air galon guna ulang ini menyebabkan gangguan kesehatan bagi para konsumen.
Dia menyampaikan adanya bahaya kesehatan AMDK galon PC ini terkesan hanya untuk menakut-nakuti masyarakat saja. Karena, menurutnya, belum ada bukti sampai saat ini yang menyatakan bahwa AMDK galon polikarbonat ini telah menyebabkan bahaya kesehatan bagi masyarakat. “Jadi, bagaimana mungkin sesuatu yang belum ada buktinya, belum ada peneliti juga yang sudah menemukan bahwa galon polikarbonat ini sudah kerugian kesehatan, lalu dengan serta merta dibuat kebijakan pelabelan BPA untuk galon polikarbonat. Ini kan hanya menakut-nakuti masyarakat namanya dan membuat gaduh saja karena tidak ada buktinya sama sekali,” tukasnya.
Willy menyebut ada beberapa jenis kualitas galon polikarbonat yang digunakan para industri AMDK yang ada di Indonesia, mulai dari kualitas paling rendah (grade 5) hingga kualitas paling baik (grade 1). “Jika itu dilakukan di daerah-daerah yang berada di luar Pulau Jawa, itu sama sekali nggak bisa jawab. Bisa jadi yang diperiksa itu galon yang grade 5 atau yang paling murah atau galonnya yang rusak saat didaur ulang,” ucapnya.
Karenanya, Willy menegaskan wacana pelabelan BPA ini jelas-jelas sangat merugikan dirinya sebagai pengusaha AMDK galon polikarbonat. Jika diwajibkan membuat stiker pelabelan BPA, menurut Willy, itu sama saja akan ada penambahan investasi lagi. Selain itu, pihak-pihak tertentu akan memanfaatkan wacana ini untuk persaingan usaha yang tidak sehat. “Pasti ada pihak yang sengaja memanfaatkan wacana ini untuk menjatuhkan produk AMDK galon polikarbonat dengan menggunakan orang-orang tertentu untuk menyebarkan isu dengan mengatakan air minum galon guna ulang itu tidak aman untuk kesehatan dan itu sudah terjadi,” tuturnya.
Pengusaha AMDK polikarbonat lainnya yang juga Ketua DPD Aspadin Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten (JDB), Evan Agustianto, juga mengeluhkan hal yang sama. Dia menilai wacana kebijakan pelabelan BPA yang hanya ditargetkan untuk galon guna ulang sangat diskriminatif. “Wacana pelabelan BPA ini dulu tidak pernah muncul. Tapi, kenapa setelah salah satu produksi merek nasional yang menggunakan galon sekali pakai PET muncul, isu ini jadi ramai. Ada apa ini?” ujarnya.
Kalaupun misalnya mau tetap membuat kebijakan pelabelan pada kemasan, dia menyarankan agar itu jangan diberlakukan untuk galon polikarbonat saja, melainkan untuk galon sekali pakai berbahan PET juga. “Karena, semuanya juga mengandung zat berbahaya kalau memang alasannya seperti itu,” ucapnya.
Para pelaku usaha air minum dalam kemasan (AMDK) di wilayah Kota Medan dan Manado juga menilai wacana pelabelan BPA galon PC ini bersifat diskriminatif. Merek melihat isu BPA ini sangat diskriminatif. “Karena, kalau kita kaji semua bahan kemasan itu berpotensi mengandung zat berbahaya. Ini mengacu pada peraturan Ini mengacu pada peraturan BPOM,” pengusaha AMDK galon polikarbonat yang juga Ketua DPD Aspadin wilayah Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam, Esron Siringo-ringo.
Kata Esron, dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan disebutkan bahwa semua bahan kemasan berpotensi mengandung zat bahaya. “Itu dengan jelas disebutkan di sana. Tapi, kenapa hanya AMDK kemasan polikarbonat saja yang disasar, sementara AMDK yang menggunakan kemasan di luar polikarbonat tidak. Ini kan sangat terlihat bahwa wacana regulasi pelabelan BPA untuk galon polikarbonat itu menjadi diskriminatif. Kami melihat ada persaingan usaha tidak sehat di balik wacana regulasi ini,” ucapnya.
Karenanya, kata Esron, para pelaku usaha AMDK di wilayahnya Tengah berusaha untuk berkomunikasi dengan pemerintah agar isu ini bisa segera dihentikan. “Sebab, wacana regulasi terkait pelabelan BPA terhadap galon polikarbonat ini jelas-jelas tidak sesuai dengan peraturan BPOM nomor 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Ketua DPD Aspadin Sulawesi Utara, Imanuel Adoeng. Menurutnya, para pelaku usaha AMDK di Manado juga menilai wacana regulasi terkait pelabelan BPA terhadap galon polikarbonat itu sangat diskriminatif. Hal itu mengingat semua bahan kemasan pangan itu berpotensi mengandung zat berbahaya seperti yang disebutkan dalam Peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. “Tapi, dalam wacana regulasi baru itu kenapa hanya AMDK kemasan polikarbonat saja yang disasar BPOM. Ini kan sangat diskriminatif,” ujarnya.
Para pelaku usaha AMDK di Manado juga melihat wacana regulasi pelabelan BPA terhadap galon polikarbonat ini memfasilitasi persaingan usaha tidak sehat karena merugikan pengusaha AMDK galon polikarbonat dan menguntungkan pengusaha AMDK kemasan yang bukan polikarbonat. Padahal, katanya, AMDK galon di luar yang polikarbonat itu juga mengandung zat yang lebih berbahaya.
“Usaha kami akan sangat terganggu dan terancam keberlangsungannya oleh isu BPA ini. Kami memohon agar pemerintah bersedia melindungi kami para pelaku usaha AMDK dari isu BPA ini,” katanya.