Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Vietnam berupaya menggenjot penyaluran kredit seiring dengan perlambatan kinerja ekspor yang berisiko terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dilansir Bloomberg pada Jumat (18/8/2023), hingga 9 Agustus 2023, pertumbuhan kredit di Vietnam berada pada level 4,3 persen, jauh di bawah target yang ditetapkan pemerintah pada tahun ini sebesar 14 persen hingga 15 persen.
Pemerintah Vietnam pun mendesak bank sentral untuk segera menemukan jalan keluar agar akses kredit meningkat. Pemerintah juga mengarahkan regulator untuk meminta bank-bank komersial memangkas beban pengeluaran demi bunga kredit yang lebih rendah.
Pertumbuhan ekonomi Vietnam berpotensi meleset dari target yang sebesar 6,5 persen pada tahun ini, seiring dengan pelemahan permintaan global yang memukul perusahaan manufaktur di negara tersebut, dari industri alas kaki hingga telepon pintar. Pertumbuhan GDP pada kuartal II tahun ini tercatat sebesar 4,41 persen secara yoy.
Sebelumnya, pada awal bulan ini, PM Vietnam Minh Chinh menyatakan pemerintah akan mendorong ekonomi agar bisa tumbuh ke kisaran 9 persen pada semester kedua sehingga bisa memenuhi target yang ditetapkan untuk 2023.
Dia juga terus mengarahkan bank sentral, kementerian keuangan, dan lembaga lainnya agar suku bunga kredit lebih terjangkau untuk dunia bisnis, yang pada akhirnya diharapkan mendongkrak ekonomi di tengah perlambatan inflasi.
Diketahui, bank sentral Vietnam (the State Bank of Vietnam) telah memangkas suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini dan masih bimbang melakukan pelonggaran kebijakan lebih lanjut karena khawatir kredit bermasalah meningkat, yang akan mengancam kestabilan sistem keuangan nasional.
Pada periode Januari hingga Juli tahun lalu, kredit di Vietnam tumbuh 9,55 persen, berdasarkan data dari bank sentral. Sementara, dari Januari hingga Agustus 2022 kredit tumbuh 9,98 persen.
Adapun, perusahaan-perusahaan Vietnam, terutama pengembang properti, dikabarkan mengalami kesulitan dalam mendapatkan pinjaman, menerbitkan obligasi, dan menghimpun dana, sehingga beberapa proyek dihentikan.
Krisis ini dimulai sejak tahun lalu setelah regulator menindak penerbitan obligasi korporasi yang diketahui melakukan kegiatan ilegal. Hal ini memicu pembekuan penerbitan obligasi baru secara tiba-tiba.