Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Surplus Neraca Dagang Makin Sempit, Ekonom Proyeksi Defisit Transaksi Berjalan 0,65 Persen

Ekonom memproyeksikan neraca transaksi berjalan (current account/CA) akan tetap terkendali dan berada di angka -0,65 persen terhadap PDB 2023.
Ilustrasi neraca perdagangan Indonesia lewat kegiatan ekspor-impor menggunakan kapal. JIBI/Bisnis
Ilustrasi neraca perdagangan Indonesia lewat kegiatan ekspor-impor menggunakan kapal. JIBI/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Senior Bank Mandiri Faisal Rachman memproyeksikan neraca transaksi berjalan (current account/CA) akan tetap terkendali dan berada di angka -0,65 persen terhadap PDB 2023. 

Faisal menyampaikan defisit tersebut akan lebih kecil dari tahun lalu yang mencapai -0,99 persen dari PDB 2022, akibat kinerja ekspor yang semakin melemah pada 2023. 

“Perkiraan kami menunjukkan penurunan yang berkelanjutan pada surplus perdagangan Indonesia, meningkatkan kemungkinan pergeseran neraca perdagangan menjadi defisit lebih cepat dari yang diantisipasi sebelumnya. Kami memperkirakan CA akan mencatat defisit kecil sebesar -0,65 persen dari PDB pada 2023,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (15/8/2023). 

Faisal menjelaskan bahwa memudarnya kekuatan kinerja ekspor Indonesia terjadi seiring penurunan harga komoditas utama akibat melemahnya permintaan global.

Kondisi ini diproyeksikan akan diimbangi oleh kinerja impor Indonesia yang relatif lebih kuat di tengah daya tahan yang ditunjukkan oleh kegiatan ekonomi domestik.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan secara kumulatif, pada periode Januari hingga Juli 2023, mencapai US$21,24 miliar.

Capaian surplus tersebut turun US$7,88 miliar jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu (year-on-year/yoy) yang tercatat sebesar US$29,12 miliar.

Sedangkan surplus hanya pada Juli 2023 tercatat sebesar US$1,31 miliar, yang didapatkan dari nilai ekspor sebesar US$20,88 miliar dan impor mencpai US$19,57 miliar. 

Dari sisi global, perekonomian Amerika Serikat (AS) sedang berjuang dengan tingkat inflasi yang tinggi di tengah-tengah pasar tenaga kerja yang ketat. Akibatnya, bank sentral negara ini mengadopsi tingkat suku bunga yang lebih tinggi dalam waktu yang lama. 

Kondisi ini menyebabkan penurunan permintaan di seluruh dunia, yang berdampak negatif pada aktivitas perdagangan global, termasuk pasar di China. Selain itu, pemulihan ekonomi China terhambat oleh pasar properti yang memburuk. 

Meski demikian, hal positif dari semua tekanan tersebut adalah pemerintah telah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. 

Peraturan yang mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2023 ini dapat memperkuat upaya pengamanan devisa hasil ekspor sumber daya alam, terutama dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. 

Mengacu aturan tersebut, eksportir di keempat sektor tersebut wajib menempatkan pendapatannya dari setiap dokumen ekspor yang memiliki nilai minimal US$250.000 atau setara, diwajibkan untuk menyimpan setidaknya 30 pesen dari hasil devisa mereka di dalam negeri untuk jangka paling sebentar tiga bulan.

“Diperkirakan bahwa kebijakan ini akan memberikan kontribusi sekitar US$12 – US$15 miliar pada cadangan devisa pada periode Agustus - Desember 2023. Dengan demikian memberikan dukungan yang berharga dalam meningkatkan stabilitas dan mendorong pertumbuhan,” tutup Faisal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper