Bisnis.com, JAKARTA - Pembangunan pertanian yang modern, mandiri, dan maju harus direncanakan secara matang serta dimulai dengan hal-hal mendasar.
Dengan disrupsi, tantangan untuk melakukan perubahan di sektor pertanian makin beragam. Keragaman ini terkait dengan aspek hulu-hilir dalam pembangunan pertanian. Misalnya aspek kelembagaan petani, keberlanjutan usaha tani (agribisnis) dan kedaulatan pangan.
Penguatan petani agar punya posisi tawar kuat mensyaratkan kelembagaan petani yang kuat dan secara paralel sumber daya manusia petani di-upgrade agar adaptif pada perubahan. Harapannya mereka bisa bersaing dalam pasar pertanian yang makin kompetitif dan mengglobal.
Persoalan krusial kelembagaan petani di Indonesia adalah interest dan komitmen di level pemerintah masih cukup lemah. Indikator sederhana terlihat sedikitnya sosialisasi kebijakan pengembangan organisasi petani dan pelatihan peningkatan skill petani (khususnya pascapanen).
Mengapa ini penting? ada dua hal mendasarinya. Pertama, sosialisasi dapat membangun kesadaran petani sehingga dapat mengerti apa, kenapa, dan bagaimana menumbuhkan organisasi petani. Kedua, sosialisasi menjadi ruang untuk mendistribusikan informasi kebijakan-kebijakan dan informasi penting lain berkaitan dengan program-program pembangunan pertanian.
Selama ini, ujung tombaknya adalah Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), tetapi ini tidak efektif selain pembahasannya lebih pada persoalan teknis yang dikeluhkan petani, daya jangkaunya juga terbatas karena kuantitas PPL sangat sedikit, sementara ruang (jangkauan geografis) sangat luas, sehingga ada gap antara kebutuhan dengan ketersedian PPL.
Baca Juga
Selama ini petani tergabung pada kelompok tani sebagai syarat utama mendapatkan bantuan pupuk subsidi. Namun, keberadaannya baru sekadar untuk mendapatkan subsidi. Belum menjadi ruang bagi petani tumbuh secara kualitatif: produktif, mandiri, kreatif, dan displin. Bahkan bertumbuh-berkembang dengan mendirikan kelembagaan ekonomi formal: koperasi tani misalnya atau lebih besar dari itu, CV misalnya.
Adapun dalam pengembangan usaha tani, salah satu dari sekian faktor yang harus diperhatikan adalah permodalan. Sebagian besar usaha petani (individu atau kelompok) adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Karena skala usahanya kecil, maka fungsi manajemen maupun fungsi bisnisnya ada pada satu atau dua orang. Hal ini berimplikasi pada kelengkapan syarat apakah usaha itu bankable; mulai dari administrasi sampai substansi menjadi sulit terpenuhi.
Di sisi lain, potensi UMKM sektor pertanian cukup kuat bertahan terutama dalam situasi krisis moneter tahun 1997—1998, krisis keuangan global tahun 2008 dan selama pandemi Covid-19. Tetap ada pekerjaan rumah yang menanti, bagaimana UMKM pertanian ini bisa lebih maksimal dikelola dan dikembangkan langsung oleh petani. Di sini dukungan pemerintah di level tingkat kabupaten/kota mutlak diperlukan bersama-sama dengan kementrian/lembaga/badan terkait.
Memang sepanjang sejarah republik ini, persoalan yang dihadapi petani kiat cukup kompleks, mulai dengan tumpang tindih kebijakan antara lahan konsesi/investasi untuk badan usaha skala besar dan lahan pertanian padahal selama ini luas tanam mereka sudah sangat kecil (0,3 ha—0,5 ha), strategi kebijakan yang tidak tepat, manajemen dan integrasi data pertanian yang masih amburadul, perburuan rente, harga komoditi yang jatuh saat panen raya, eksploitasi berlebihan dan kapasitas melebih daya dukung lingkungan, bahkan dalam pembiayaan, bankir masih menganggap bisnis pertanian penuh resiko dan sebagainya.
Akibatnya bangsa ini menjadi net importir pangan, seperti kedelai, bawang putih, jagung, daging, beras dan lain-lain. Dalam jangka panjang, impor, hanya akan membuat petani kita tidak bergairah lagi bertani dan kedaulatan bangsa kita terancam. Karena itu, menjadi relevan ketika optimisme “kedaulatan pangan” yang diinginkan pemerintah dibangun atas kesadaran akan rentannya ketahanan pangan nasional.
Kerentanan pangan ini sangat riskan, apalagi krisis pangan ada di depan mata sebagai akibat perubahan iklim dan geopolitik pangan sejak Rusia-Ukraina berperang. Jika tidak ada langkah strategis, tepat dan cepat akan sangat berbahaya. Kita akan ketergantungan pangan impor dan menjadi bangsa yang tidak berdaulat.
Agar program pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan tidak menjadi masalah baru, maka orientasinya tidak sekedar pertumbuhan produksi tetapi memastikan keseimbangan, “no food security and sovereignty without ecological and livelihood security”.
Agroekologi bisa menjadi pertimbangan untuk itu. Selanjutnya, perlu diversifikasi pangan baik produksi maupun konsumsi. Diversifikasi produksi bisa mengurangi risiko gagal panen, misalnya komoditas beras akibat perubahan iklim atau mendukung perkembangan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal. Sedangkan diversifikasi konsumsi akan memperluas spektrum pilihan dan bisa mengurangi alokasi bahkan menghapus anggaran untuk impor pangan. Singkatnya, akselerasi diversifikasi pangan berbasis bahan pangan lokal sangat tepat untuk mendukung stabilitas pangan nasional.
Lebih dari itu, diperlukan perubahan cara pandang. Mengutip HS Dillon (lihat politik pertanian, PSDAL-LP3Es) bahwa diperlukan reformasi yang bersifat paradigmatis di bidang pertanian. Artinya pertanian harus diarahkan pada kebijakan berbasis people driven. Selama ini, petani kurang diberi keleluasaan untuk mengembangkan diri termasuk membangun kelembagaan petani.