Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, pembangunan pabrik kelapa sawit rakyat di Manokwari, Papua Barat ditargetkan rampung pertengahan 2025.
Menurutnya, waktu pembangunan pabrik kelapa sawit berbasis koperasi petani ini sekitar 1,5 tahun mengingat kapasitas produksi yang hanya 15 ton tandan buah segar (TBS) per jam.
"Pertengahan 2025 pabrik kelapa sawit ini sudah beroperasi," kata Gulat saat dihubungi, Senin (27/7/2023).
Gulat berharap rekomendasi teknis (Rekomtek) pembangunan pabrik kelapa sawit maupun peremajaan sawit rakyat (PSR) dapat diterbitkan oleh Kementerian Pertanian sebelum 17 Agustus 2023. Dengan begitu, Rekomtek bisa selanjutnya diserahkan ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang akan mengeluarkan biaya pembangunan pabrik kelapa sawit sesuai rencana.
Adapun, nilai investasi pembangunan pabrik kelapa sawit rakyat di Manokwari tersebut mencapai Rp80 miliar.
"Makanya kami berharap sebelum akhir tahun 2023 pabrik kelapa sawit sudah mulai dibangun," tutur Gulat.
Baca Juga
Menurutnya, minimum akan ada 7.000 hektare lahan sawit petani nantinya siap menyuplai TBS saat pabrik kelapa sawit rakyat mulai beroperasi pada pertengahan 2025. Dia pun meyakini bahwa keberadaan pabrik kelapa sawit akan mendongkrak nilai tukar petani (NTP) petani sawit rakyat di Manokwari.
Gulat juga membeberkan, rencana pembangunan pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan pabrik kelapa sawit rakyat tersebut tengah dalam pembahasan final. Nantinya, direncanakan crude palm oil dari pabrik kelapa sawit rakyat dapat menjadi bahan baku minyak goreng rakyat di Papua.
Musababnya, menurut Gulat, selama ini urusan minyak goreng rakyat telah menjadi beban tersendiri bagi para korporasi besar. Pembangunan pabrik kelapa sawit rakyat di Papua ini diklaim dapat meningkatkan kemandirian dan kedaulatan petani rakyat.
"Jadi biarlah urusan minyak goreng rakyat khususnya yang jauh dari pusat industri sawit [Sumatra dan Pulau Jawa] dapat dipasok oleh pabrik minyak goreng berbasis koperasi. Sementara untuk yang kualitas premium dan ekspor saya pikir itu lebih cocok dikerjakan oleh korporasi besar," jelas Gulat.