Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja sektor properti dan perumahan masih melemah. Hal ini terlihat dari perlambatan produksi rumah, sedangkan permintaan properti residensial masih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan investasi komponen bangunan hanya tumbuh 0,08 persen year-on-year (yoy) pada kuartal I/2023, turun dari 2,58 persen pada kuartal yang sama di tahun sebelumnya.
Hal yang sama terjadi pada sektor konstruksi yang mengalami penurunan dari 4,83 persen kuartal pertama 2022, menjadi 0,32 persen pada kuartal pertama tahun ini. Di sisi lain, real estat kuartal ini tumbuh 0,37 persen, turun dari 3,78 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Chief Economist, The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip mengatakan data tersebut menunjukkan supply atau pasokan yang melambat di tahun 2023. Namun, dia melihat terjadi kenaikan permintaan yang tercermin dari inflasi di sektor ini.
"Inflasi perumahan dalam setahun terakhir meningkat lebih dari dua kalinya level inflasi pada tahun 2021," kata Sunarsip dalam diskusi 'Prospek dan Tantangan Pembiayaan Perumahan Rakyat', Selasa (11/7/2023).
Dia menerangkan, inflasi perumahan pada Juni 2023 mencapai 2,49 persen, lebih tinggi dari level inflasi di akhir 2021 sebesar 0,76 persen.
Baca Juga
Kenaikan inflasi perumahan ini, menurut Sunarsip, mencerminkan 2 kondisi. Pertama, permintaann perumahan baik sewa maupun beli yang masih terjaga.
"Kedua, adanya kenaikan harga rumah karena dorongan kenaikan harga bahan baku biaya produksi, terutama pasca kebijakan kenaikan harga BBM pada September 2022," ujarnya.
Biaya produksi yang meningkat memicu kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) terutama pada rumah tipe menengah. Hal ini mengindikasi minat pada tipe rumah tersebut cukup tinggi.
Kenaikan harga properti residensial tak hanya terjadi pada pasar komersial, tapi juga pasar rumah subsidi. Aturan batasan harga rumah subsidi dengan bebas PPN 11 persen telah naik di kisaran Rp162 juta hingga Rp234 juta.
Sunarsip menekankan pengelolaan stok rumah khususnya rumah bersubsidi perlu dijaga dan produksinya tidak berkurang. Untuk itu, dia menilai perlu adanya mekanisme agar pasokan yang ada dapat disalurkan dengan tepat sasaran.
"Perlu ada badan/unit pengelola yang bertindak sebagai manajemen aset bagi perumahan MBR," terangnya.
Menurutnya, pemerintah saat ini sedang merancang pembentukan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) untuk melakukan monitoring keterhunian dan bertindak sebagai offtaker.
Belajar dari pengalaman Singapura, Sunarsip mengusulkan agar kelembagaan BP3 tersebut mengacu pada Housing & Development Board (HDB) yang dibentuk pemerintah Singapura pada 1960.
Harapannya, BP3 tidak hanya bertindak sebagai pengawas dan offtaker, tetapi juga bertindak sebagai penyedia, pengelola manajemen aset bagi rumah yang dibeli melalui skim dari HDB.
Semisal, jika terdapat pemilik rumah yang ingin menjual rumahnya karena pertimbangan sudah tidak layak lagi, HDB yang akan menjadi pembeli siaganya (standby buyer).
"Dengan konsep seperti ini, penghuni dimudahkan dalam melakukan mutasi. Selain itu, pemerintah dapat menjaga pasokan (supply) rumah murah atau rumah bersubsidi," terangnya.
Untuk memenuhi fungsi-fungsi sebagaimana HDB Singapura tersebut, Sunarsip mengusulkan, pembentukan BP3 tersebut sekaligus mengintegrasikan peran Perum Perumnas yang merupakan BUMN Perumahan, ke dalam BP3.
Dengan penggabungan ini, maka BP3 yang terbentuk memiliki tiga fungsi sekaligus, yaitu penyedia, pengawas, off-taker dan sekaligus manajemen aset perumahan. Masuknya Perum Perumnas ke dalam BP3 juga nanti akan memperkuat kapabilitas korporatisasi yang dimiliki BP3.