Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pemerintah perlu meninjau ulang program biodiesel B35, bauran Solar dengan 35 persen bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak sawit yang telah berjalan sejak Februari 2023 lalu.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad berpendapat pemerintah perlu mengkaji ulang efektivitas penyaluran subsidi atau insentif yang dialokasikan untuk biodiesel tersebut di tengah tren pelemahan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan Solar di pasar dunia.
“B35 harus dievaluasi secara keseluruhan jangan dilihat dari sisi subsidinya saja, tapi dilihat juga efesiensi dari sisi penggunaan Solar dan subsidinya, dampak ke bisnis, ekonomi makro dan lingkungan,” kata Tauhid saat dihubungi Minggu (9/7/2023).
Tauhid mengatakan, subsidi langsung yang difokuskan pada Solar justru lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan alokasi insentif pada CPO, sebagai bahan baku, yang sensitif dikendalikan sentimen pasar global.
Hal itu, kata dia, membuat sebagian besar negara enggan untuk meningkatkan bauran CPO di dalam produk solar domestik mereka.
“Harga di dalam negeri kan ikut harga internasional itu problemnya, kecuali kita ada harga dual ya, harga domestik yang lebih rendah dibandingkan dengan internasional itu akan berbeda hitungannya,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melaporkan adanya penurunan realisasi penyaluran subsidi biodiesel B35 sepanjang paruh pertama tahun ini.
Divisi Perusahaan BPDPKS Achmad Maulizal Sutawijaya mengatakan, total insentif yang diberikan kepada pemasok sebagai selisih harga indeks pasar (HIP) BBN jenis biodiesel dengan HIP minyak solar hanya berada di angka Rp4,04 triliun atau turun 82,72 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu di level Rp23,38 triliun.
“Selisih HIP Biodiesel dan Solar pada Bulan Juni 2023 turun sebesar Rp449,36 per liter di luar ongkos angkut dan PPN,” kata Achmad kepada Bisnis, Minggu (9/7/2023).
Achmad menuturkan turunnya realisasi penyaluran subsidi kepada produsen biodiesel itu disebabkan karena turunnya harga CPO yang dipengaruhi pelemahan harga minyak nabati lainnya seperti kedelai di pasar dunia.
Selain itu, Achmad menambahkan, terdapat kekhawatiran pasar terkait dengan peningkatan pasokan produksi kelapa sawit global ari Indonesia dan Malaysia.
Berdasarkan catatan BPDPKS, realisasi pungutan ekspor CPO yang berhasil dihimpung hingga 23 Juni 2023 mencapai di angka Rp15,55 triliun.
“Terjadi juga penurunan harga solar disebabkan oleh meningkatkan pasokan minyak mentah global dan kenaikan suku bunga The Fed yang membuat nilai tukar dolar AS menguat,” kata dia.
Seperti diketahui, harga acuan minyak mentah Indonesia atau Indonesian crude price (ICP) Juni 2023 turun ke level US$69,36 per barel. Harga itu tergelincir US$0,76 per barel dari posisi bulan sebelumnya di level US$70,12 per barel.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengidentifikasi pelemahan harga itu disebabkan karena kekhawatiran pasar atas kondisi ekonomi global khususnya di kawasan Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang ditandai dengan turunnya Purchasing Managers Index (PMI) AS ke angka 46,3 dan Eropa di angka 50,3 yang menjadi level terendah selama satu semester terakhir.
Selain untuk subsidi program mandatori biodiesel B35, badan penghimpun pungutan ekspor sawit itu juga menyalurkan dana segar Rp601 miliar untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) pada semester pertama tahun ini. Alokasi PSR itu lebih tinggi dibandingkan kuota periode tahun sebelumnya di level Rp495 miliar.
Kementerian ESDM mencatat realisasi penyaluran biodiesel B35 telah mencapai 5,6 juta kiloliter (kl) hingga 6 Juli 2023.
Realisasi penyaluran bauran Solar itu hingga pertengahan tahun ini telah mencapai 42,58 persen dari alokasi biodiesel program mandatori B35 yang dipatok di angka 13,15 juta kl. Adapun, alokasi biodiesel tahun ini naik 19 persen jika dibandingkan dengan kuota 2022 di level 11,02 juta kl.