Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jokowi hingga Bahlil 'Ngotot' soal Hilirisasi, Apa Untungnya?

Pemerintahan era Joko Widodo (Jokowi) akan tetap melanjutkan kebijakan hilirisasi dan memberlakukan larangan ekspor mineral mentah, termasuk bauksit dan nikel.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia memberikan keterangan pers terkait kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor pada Jumat (30/6/2023). Dok. Youtube BKPM.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia memberikan keterangan pers terkait kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor pada Jumat (30/6/2023). Dok. Youtube BKPM.

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintahan era Joko Widodo (Jokowi) tampak begitu ‘ngotot’ melanjutkan kebijakan hilirisasi dan memberlakukan larangan ekspor mineral mentah, termasuk bauksit dan nikel. Memang, apa keuntungannya?

Laporan LPEM FEB UI bertajuk Larangan Ekspor Mineral Indonesia dan Implikasinya menyebutkan bahwa kebijakan pelarangan ekspor mineral merupakan implikasi dari instruksi pemerintah, khususnya Presiden Jokowi.

Hilirisasi industri dinilai oleh pemerintah dapat menjadi salah satu cara untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Adapun salah satu langkah yang diambil terkait hilirisasi adalah melarang ekspor mineral mentah, termasuk bauksit dan nikel pada 2014.

Meski pelarangan ekspor digugat oleh World Trade Organization (WTO), kebijakan tersebut rupanya memberikan dampak positif bagi Indonesia. Nilai ekspor produk olahan nikel meningkat dari US$2 miliar pada 2017, naik menjadi US$8,4 miliar pada 2021.

Laporan LPEM FEB UI, yang disusun oleh Nauli A. Desdiani, Faradina Alifia Maizar, dan Jahen F. Rezki ini, memaparkan tiga implikasi yang mungkin timbul dari kebijakan hilirisasi.

Pertama adalah mendorong diversifikasi industri. Larangan ekspor mineral mentah Indonesia dinilai akan mendorong industri domestik untuk melakukan hilirisasi dengan mengembangkan komoditas bernilai tambah tinggi.

“Apabila berhasil, maka kebijakan ini mampu menciptakan lapangan kerja, memperkuat struktur industri, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, terutama di daerah yang menjadi pusat pembangunan industri hilir dari mineral mentah,” tulis laporan tersebut.

Kedua, memperbaiki neraca perdagangan Indonesia dan menambah devisa. Melalui kebijakan proteksionisme, Indonesia dianggap sudah tidak bergantung pada ekspor bahan mentah, yang nilai rentan terhadap fluktuasi perekonomian global.

Kebijakan tersebut, menurut LPEM FEB UI, bahkan dapat meningkatkan nilai tambah dari ekspor komoditas sehingga mendorong posisi Indonesia dalam rantai pasok global. Alhasil, peningkatan ekspor secara simultan juga akan mengerek devisa negara.

Ketiga, menarik investasi untuk hilirisasi industri. Kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah dipandang memiliki potensi meningkatkan investasi, terutama pembangunan smelter bagi komoditas nikel dan bauksit.

Hal ini setidaknya terbukti dengan hadirnya beberapa perusahaan China, yang berinvestasi pada pabrik pengolahan nikel di Sulawesi dan Halmahera. Hal ini tidak terlepas dari ketergantungan China pada nikel Indonesia untuk industri stainless-steel dan baterai kendaraan listrik

“Kebijakan hilirisasi yang padat modal tentunya menjadi kesempatan bagi peningkatan Penanaman Modal Asing [PMA] ke Indonesia,” tulis laporan LPEM FEB UI.

Lanjutkan Hilirisasi 

Pada pekan lalu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia kembali menegaskan bahwa pemerintah akan tetap fokus melanjutkan kebijakan hilirisasi dan melarang ekspor mineral mentah.

Pernyataan tersebut sebagai jawaban balasan atas permintaan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), yang meminta Indonesia untuk melonggarkan kebijakan pembatasan ekspor komoditas.

IMF, lewat laporan bertajuk IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, meminta pemerintah untuk mempertimbangkan penghapusan pembatasan ekspor komoditas secara bertahap, dan cost-benefit dari kebijakan ini perlu dilakukan secara berkala.

Namun, Bahlil secara tegas menolak usulan tersebut. Dia mengatakan Indonesia akan tetap fokus menggenjot hilirisasi guna meningkatkan nilai tambah bagi komoditas Tanah Air, serta mempertahankan larangan ekspor yang telah berjalan.

“Langit mau runtuh pun, hilirisasi tetap akan akan menjadi prioritas negara dalam pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Kedua, larangan ekspor akan tetap kami lakukan,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023).

Menurutnya, jika ekspor komoditas terus dilakukan, maka akan ada jutaan bahan baku yang dikirim ke luar negeri tanpa memerhatikan pengelolaan lingkungan. Selain itu, lapangan kerja dan nilai tambah dari komoditas juga akan hilang.

Padahal, sejumlah negara juga melakukan larangan ekspor demi kepentingan nasional. Amerika Serikat, misalnya, yang membatasi ekspor semikonduktor.

Situasi ini akhirnya membuat Bahlil menuding IMF menerapkan standar ganda. Musababnya, pada saat yang sama, IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural tetapi menentang kebijakan larangan ekspor yang dijalankan Indonesia.

“Larangan ekspor akan tetap kita lakukan, kalau mau bawa kita ke WTO [World Trade Organization] bawa saja. Masa orang lain boleh, kita tidak boleh, yang benar saja. Negara ini sudah merdeka,” ucap Bahlil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper