Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kebijakan Ekspor Mineral Setengah Jadi Dinilai Tekan Investasi di Sektor Hilir

Kebijakan Ekspor Mineral Setengah Jadi Tekan Investasi di sektor Hilir
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang longgar terhadap penjualan komoditas mineral kritis dinilai justru akan menekan keberlangsungan investasi di sektor hilir.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai negatif manuver pemerintah yang belakangan longgar untuk menjual barang setengah jadi hasil hilirisasi mineral kritis ke pasar Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). 

Tauhid berpendapat keputusan itu justru bakal mengoreksi komitmen pemerintah untuk melakukan industrialisasi mineral kritis seperti bijih nikel sebagai baterai listrik di dalam negeri. Konsekuensinya, kata Tauhid, investasi di sisi hilir mineral kritis bakal seret pada jangka menengah dan panjang. 

“Smelter akan berhenti, dia akan banyak produksi bahan baku untuk katoda, industri turunannya seperti baterai sel tidak akan berkembang lagi,” kata Tauhid saat dihubungi, Jumat (30/6/2023). 

Lewat beberapa perundingan ihwal fasilitas perjanjian perdagangan bebas terbatas atau limited free trade agreement (FTA), pemerintah belakangan sepakat untuk menjual barang setengah jadi hasil hilirisasi tambang mineral kritis dalam negeri. 

Keputusan itu diambil setelah negosiasi limited FTA berjalan alot bersama dengan dengan AS dan UE. Pemerintah menetapkan kualitas hilirisasi mineral itu mesti sudah mencapai 60 persen sampai dengan 70 persen diolah di dalam negeri. 

Di sisi lain, Tauhid mengatakan, keputusan itu justru bakal memperlemah posisi Indonesia pada rantai pasok baterai dan kendaraan listrik pada jangka menengah dan panjang. 

“Kita akan tergantung pada katoda dari negara lain, kita tidak bisa diidamkan lagi karena punya nikel banyak, kemungkinan kita juga akan re-impor lagi barang yang kita ekspor tersebut yang diekspose ke kita,” kata dia. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan keputusan ekspor barang setengah jadi dengan syarat minimal diolah 60 persen sampai dengan 70 persen itu untuk menyiasati kebijakan insentif EBT yang dianggap diskriminatif untuk mineral kritis asal Indonesia, Inflation Reduction Act (IRA) milik AS & Critical Raw Materials Act (CRM) milik UE. 

Bahlil mencontohkan keputusan itu sudah diambil pemerintah efektif lewat kerja sama pembangunan pabrik panel surya beberapa waktu lalu yang menggandeng perusahaan asal AS dengan nilai investasi mencapai US$500 juta atau setara dengan Rp7,5 triliun.

Pabrik yang bakal dibangun di Batang, Jawa Tengah itu bakal mengekspor produk antara dengan kualitas pengolahan di dalam negeri mencapai 60 persen sampai dengan 70 persen. 

“Ini bagian kita masuk dari komponen IRA, karena mereka juga pingin penciptaan nilai tambah hilirnya itu di sana, itu yang menurut saya kolaborasi jadi jangan mereka ambil bahan baku saja kemudian tanpa proses nilai tambah di negara penghasil bahan baku tersebut,” kata Bahlil saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023). 

Adapun, IRA memperketat kriteria mineral logam yang dapat menerima insentif kendaraan listrik yang dialokasikan pemerintah AS selepas 2023. Adapun, undang-undang itu menghimpun dana subsidi sebesar US$370 miliar untuk pengembangan teknologi bersih.   

Beberapa kriteria itu, di antaranya mewajibkan mineral logam diolah di AS serta bahan baku yang diperoleh mesti berasal dari sejumlah negara yang telah memiliki perjanjian perdagangan bebas atau FTA dengan pemerintah AS. Dominasi perusahaan China pada industri smelter Indonesia juga turut menjadi perhatian pemerintah AS. 

Sementara itu, CRM mewajibkan agar pabrik hilir dari turunan mineral kritis seperti sel baterai mesti berdekatan dengan industri mobil listrik di negara anggota Uni Eropa. Kebijakan itu ingin memastikan nilai tambah pengolahan mineral tetap berada di benua biru.

“Negosiasi pemerintah Indonesia dengan IRA masih berjalan, tanpa IRA kita kesampingkan dulu, maka kombinasi yang kami bangun dalam implementasi hilirisasi di Indonesia itu adalah proses industrinya dibangun 70 persen nilai tambahnya di Indonesia sisanya kita kirim ke Amerika,” kata dia.  

Di sisi lain, dia mengatakan, belum pastinya Indonesia mendapat fasilitas limited FTA dari AS tidak bakal menganggu rencana investasi konsorsium LG Energy Solution (LG) pada usaha patungan atau joint ventures (JV) Indonesia Battery Corporation (IBC) di Indonesia. Menurut Bahlil, LG bakal tetap mendapat kepastian akses pasar subsidi AS untuk produk turunan antara di level katoda.  

“Tidak akan terganggu, kalau dia sampai di katoda itu dia no problem kalau bahan bakunya 60 sampai 70 persennya di Indonesia kemudian barang jadinya itu di AS itu tidak ada masalah, disiasati saja,” kata dia. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Muhammad Ridwan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper