Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai target kemiskinan 2026 lebih rasional, yang dipasang dalam rentang 0% hingga 0,5% pada 2026. Meski angka tersebut lebih pesimistis dari target tahun ini maupun tahun lalu yang sebesar 0%.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman memandang pergeseran target ini mencerminkan adanya penyesuaian ekspektasi dari pemerintah terhadap kompleksitas struktural pengentasan kemiskinan ekstrem.
Dalam logika teknokratik anggaran, kondisi ini dapat dibaca sebagai bentuk rasionalisasi fiskal bahwa dengan ruang fiskal yang makin terbatas, efektivitas program perlu diukur secara lebih proporsional.
“Dengan kata lain, target baru ini lebih mencerminkan upaya konsolidasi antara target politik dan penyesuaian daya dukung kebijakan yang faktual,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Kamis (24/7/2025).
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur angka kemiskinan ekstrem menggunakan US$1,9 per hari yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP).
Melihat dari tingkat kesejahteraan ekonomi, masyarakat yang termasuk dalam desil 1 merupakan kategori miskin ekstrem.
Baca Juga
Lebih lanjut, Rizal menyampaikan bahwa target absolut 0% dalam dua tahun terakhir terlalu optimistis. Terlebih karena realisasinya tidak selaras, khususnya terkait keterbatasan data, kapasitas intervensi, dan perbedaan masalah antarwilayah.
Sementara secara teknis, penurunan total kemiskinan ekstrem masih menghadapi tantangan multidimensi yang belum terselesaikan secara sistemik. Meskipun angka kemiskinan ekstrem nasional telah menurun menjadi sekitar 1,1%, namun distribusinya belum merata.
Terutama masih terkonsentrasi di wilayah-wilayah dengan infrastruktur dasar yang lemah dan akses pelayanan publik yang minim. Hal ini menandakan bahwa kebijakan pengentasan kemiskinan selama ini masih bersifat output-based dan belum menyentuh akar struktural, seperti reformasi agraria, diversifikasi ekonomi perdesaan, reformasi program bansos yang masih cenderung terfragmentasi serta tidak tepat sasaran.
“Tanpa upaya memperkuat sinergi lintas sektor dan penguatan sistem data terpadu, target 0% akan sulit dicapai dalam kerangka waktu dua tahun,” lanjutnya.
Untuk itu, alih-alih mengedepankan target nominal, justru mestinya lebih difokuskan untuk dialihkan pada konsistensi intervensi yang bersifat transformatif, fundamental, dan sustain.
Sebelumnya, Pemerintah bersama DPR menyepakati hasil rapat panitia kerja atau Panja terkait pembicaraan pendahuluan RAPBN 2026 dan RKP 2026. Termasuk di dalamnya target kemiskinan ekstrem dengan rentang 0%—0,5%.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menegaskan bahwa target kemiskinan ekstrem itu bukan berarti tak lagi 0%. Namun, angka tersebut masih dalam rentang target dan tetap mengarah pada 0%.
“Pada 2024 menargetkan dari 1% ke 0%, tapi realisasinya itu 0,83%. Pada 2025 dari 0,83% diharapkan menjadi 0%. Melihat perkembangan terkini, dari 0,83% [diharapkan] menjadi 0,5% sampai 0%,” ujarnya usai Rapat Kerja bersama Pemerintah dan Bank Indonesia, Selasa (22/7/2025).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam lima tahun terakhir, angka kemiskinan ekstrem telah turun dari 2,25% pada Maret 2020 menjadi 0,83% pada Maret 2024.
Saat ini, Badan Pusat Statistik belum menyediakan data terkini kemiskinan maupun kemiskinan ekstrem. Sejatinya publikasi data tersebut dilaksanakan pada 15 Juli 2025 lalu. BPS menyatakan akan menyampaikan data terbaru untuk tingkat pengangguran dan kemiskinan pada besok, Jumat (25/7/2025).
Serius Hapus Kemiskinan Ekstrem
Meski secara sasaran pembangunan tampak pesimistis, namun pada tahun ini Presiden Prabowo Subianto tampak serius menghapus kemiskinan ekstrem.
Tercermin dalam paruh pertama tahun ini, Prabowo telah menerbitkan dua Instruksi Presiden (Inpres) terkait kemiskinan ekstrem. Teranyar, Inpres No.8/2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Melalui instruksi tersebut, kini pemerintah dan seluruh K/L wajib menggunakan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) sebagai acuan. Data tersebut nantinya akan menggantikan berbagai data yang Kementerian/Lembaga (K/L) gunakan untuk menyalurkan bantuan sosial.
Dengan demikian, K/L tak lagi menggunakan seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) maupun data milik BPS karena semuanya melebur dalam DTSEN.
Pemerintah pun sebelumnya menyampaikan optimistis kemiskinan ekstrem bakal teratasi dan mencapai 0% pada 2026.
Staf Khusus Menko Pemberdayaan Masyarakat Achmad Maulani menyampaikan bahwa semangat Presiden Prabowo Subianto untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem yang saat ini berjumlah 3,17 juta orang tersebut tidak main-main.
“Kemiskinan ekstrem 2026 selesai, karena kami sudah hitung 3,17 juta itu bisa selesai,” tuturnya dalam Bisnis Indonesia Forum (BIF) Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Sociopreneurship: Pendekatan Inovatif dan Berkelanjutan, Rabu (4/6/2025).