Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan hilirisasi telah membuat daerah-daerah penghasil nikel, seperti Maluku Utara mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas rerata nasional.
Bahlil menyatakan bahwa dampak positif dari fokus hilirisasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia telah membuat pertumbuhan ekonomi terjadi secara merata, terutama di daerah-daerah penghasil dari komoditas bahan baku nikel.
Salah satu contohnya adalah Maluku Utara. Dia mengungkapkan bahwa sebelum berfokus pada hilirisasi, pertumbuhan ekonomi daerah tersebut berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
“Sekarang pertumbuhan ekonomi Maluku Utara di atas pertumbuhan ekonomi nasional yakni 19 persen, bahkan tahun kemarin sampai dengan 27 persen,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Kementerian Investasi, Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, selain Maluku Utara, daerah penghasil nikel lainnya turut mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional.
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, misalnya, mencatatkan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita masing-masing sebesar 20,3 persen dan 6,7 persen pada 2022. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang rerata 6,4 persen.
Baca Juga
Oleh karena itu, Bahlil secara tegas menolak usulan Dana Moneter Internasional (IMF), yang meminta pemerintah untuk tidak memperluas hilirisasi lewat penyetopan ekspor komoditas.
“Langit mau runtuh pun, hilirisasi tetap akan akan menjadi prioritas negara dalam pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Kedua, larangan ekspor akan tetap kami lakukan,” ujar Bahlil.
IMF, lewat laporan bertajuk IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, meminta pemerintah untuk mempertimbangkan penghapusan pembatasan ekspor komoditas secara bertahap, dan cost-benefit dari kebijakan ini perlu dilakukan secara berkala.
Menurut Bahlil, jika ekspor komoditas terus dilakukan pemerintah, maka akan ada jutaan bahan baku yang akan dikirim ke luar negeri tanpa memerhatikan pengelolaan lingkungan, serta hilangnya lapangan kerja dan nilai tambah dari rekomendasi IMF tersebut.
“Berapa orang yang lapangan pekerjaannya bisa tidak kita ciptakan dengan baik, berapa nilai yang hilang akibat rekomendasi ini. Jadi, ini standar ganda yang dibangun. Pada saat bersamaan negara-negara lain itu melarang ekspor,” pungkasnya.